“Perjalanan turun sama pentingnya dengan perjalanan mendaki”, demikian pesan Edmund Hillary. Sayangnya Afri Deki (26 th) lupa dengan petuah legenda Everest itu. Akibatnya mahasiswa semester akhir Sejarah Kebudayaan Islam UIN Jogjakarta ini harus turun dari gunung Merbabu dengan cara yang tidak lazim.
Afri yang mendaki Merbabu bersama tiga temannya dari Jogjakarta, memulai drama pendakiannya dari jalur Suwanting. Sawangan. Magelang (16/8). Rombongan kecil ini tiba di puncak Merbabu pagi hari menjelang upacara bendera 17 Agustus dimulai (17/8). Tak lama usai upacara, Afri beserta tiga sohibnya meninggalkan puncak Merbabu, dan berbaur dengan pendaki lain yang juga berniat turun ke desa Suwanting.
Di perjalanan empat sekawan itu terpisah. Dua teman Afri masing-masing Jaim dan Iyanda telah jauh di depan. Menyadari situasi ini, apalagi kabut mulai datang dan mendung kian gelap, Afri melanjutkan perjalanan turunnya dengan berlari.
Ada beberapa jalur pendakian di Merbabu. Namun dari semua jalur itu, Suwanting merupakan jalur yang paling sulit. Tidak seperti jalur lainnya yang di beberapa bagian terdapat area datar dan sedikit landai, sepanjang jalur Suwanting mulai dari masuk desa Suwanting hingga puncak Merbabu, semua medannya menanjak. Menuruni jalur Suwanting dengan berjalan saja sudah berbahaya. Apalagi dengan berlari di jalur yang hari itu licin karena usai diguyur hujan lebat seperti yang dilakukan Afri.
Memasuki kawasan hutan Manding, mendadak paha Afri kram. Kini, jangankah untuk berlari, berjalan pun Afri kesulitan. Mahasiswa kelahiran Bengkulu itu agaknya pantang menyerah. Ditemani seorang temannya, Aziz, Afri, kendati dengan langkah tertatih – tatih dan beberapa kali nyaris terjerambab, melanjutkan perjalanan turunnya.
Hujan yang kembali mengguyur jalur Suwanting, membuat Afri berada dalam kesulitan besar. Akibat memaksa diri berjalan dalam kondisi tidak fit, ditambah suhu dingin yang mengigit, kedua kaki Afri menjadi tak bisa digerakan. Jempol kakinya membiru. Badannya menggigil hebat. Kesadarannya menurun. Afri terkena gejala hyphotermia level sedang.
Beberapa saat usai mendapat informasi musibah yang dialami Afri, Tim Siaga SAR Suwanting yang merupakan gabungan pemuda desa Suwanting dan SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia (SARMMI), bergegas menuju lokasi Afri. Afri kemudian dievakuasi ke tenda tim Siaga SAR Suwanting. Disini tubuh Afri dihangatkan dengan selimut tebal. Diberi asupan energi dan nutrisi. Seorang personil SARMMI dari Stacia Univ. Muhammadiyah Jakarta, Noval memberikan perawatan medis pra rumah sakit.
Setelah kondisi Afri mulai membaik. Pukul sebelas malam, Noval bersama dua personil SARMMI lainnya, Bayu dan Antok dari Mapala Univ. Muhammadiyah Riau, serta seorang pemuda Suwanting, Eko, mulai membawa Afri turun dengan cara ditandu. Sementara personil yang lain, Supomo, Kirun, Wahyu, Zainal, Tilit, Aris, dan Muspaidi menjadi penunjuk jalan sekaligus sebagai tim cadangan.
Diakui Noval, memanggul tandu di jalur Suwanting sangat sulit. Kondisi medan yang licin membuat tim tidak dapat bergerak cepat. “Jika tidak ekstra hati – hati, bisa saja kami nanti yang ditandu”, seloroh Noval.
Pukul satu dinihari (18/8) tim evakuasi memasuki kawasan lembah Mitoh. Disini Afri kembali menggigil. Tandu diturunkan. Setelah dibungkus dengan kantong tidur, serta diberi asupan nutrisi dan energy, Afri mulai membaik, dan kembali ditandu.
Di ujung lembah Mitoh, tim Siaga SAR Suwanting yang terdiri dari Umar, Badai, Rambat, Iyana, Qarim, dan Wandi telah menunggu. Keenamnya merupakan tim bantuan yang naik dari Base Camp Induk untuk memberikan bantuan di ujung lembah Mitoh. Afri diminumi air hangat. Diberi makanan secukupnya. Seorang ahli terapi dari Suwanting, Rambat, melakukan terapi. Usai diterapi, Afri dapat melangkah, dan bisa dipapah hingga ke lembah Ngrijan.
Memapah Apri rupanya tidak dapat dilanjutkan. Kecuraman etape Ngrijan – Lembah Cemoro sangat riskan memapah Afri. Ditandu juga tidak memungkinkan. Indri, Celsi, dan Umar, lantas bergantian menggendong Afri.
Pukul setengah empat dinihari, tim evakuasi tiba di Pos I Lembah Lempong. Dari sini Afri dipapah menuju jalan beton yang merupakan batas hutan dengan area ladang sayuran warga Suwanting. Untuk mempercepat perjalanan ke Base Camp, Afri dinaikan sepeda motor, diapit oleh Eko dan Badai.
Di Base Camp, Afri ditangani oleh John Lempo, Arif, dan Eka. Dari pemeriksaan yang dilakukan ketiga personil SARMMI yang berasal dari Mapala Univ. Muhammadiyah Jogjakarta (UMY) diketahui, kondisi Afri sudah cukup, dan tidak memerlukan bantuan medis yang serius.
Arif menyayangkan keputusan Afri berlari menuruni jalur Suwanting. Namun Arif percaya, kejadian buruk ini akan menjadi pelajaran penting bagi Afri di pendakiannya di masa akan datang, “Setiap puncak selalu mengajarkan sesuatu” ujar Arid menyitir kata-kata penjelajah kenamaan Inggris Sir Mc. Coy.
Terhadap kegesitan dan kegigihan warga Suwanting menolong pendaki yang mengalami peristiwa buruk di Merbabu, Arif yang memilik pengalaman panjang mengikuti operasi SAR skala besar di banyak daerah, mengaku sangat kagum. Semangat warga Suwanting untuk menjadikan jalur sulit Suwanting aman bagi siapa saja, juga pantas didukung.
“SARMMI yang merupakan Sekretariat Bersama (Sekber) SAR di Mapala Muhammadiyah Se Indonesia, memiliki tanggungjawab moral untuk mendukung warga Suwanting”, kata Arif.
Lebih jauh Arif menceritakan, SARMMI sudah sering datang ke Suwanting. Siaga SAR di Suwanting ini merupakan tindak lanjut silaturahmi SARMMI. Yang berpartisipasi di Tim SARMMI Siaga Suwanting adalah Mapala UMY. Mapala UMRI, dan Stacia UMJ. Tim kecil yang didukung Hammock Akira Mata ini, dilepas oleh Wakil Ketua Mapala UMY, di kampus UMY. SARMMI Siaga Merbabu bersama warga Suwanting selama tiga hari.
“Kami prediksi, Suwanting yang baru dibuka dua tahun, akan menjadi jalur idaman pendaki Merbabu. Jalurnya yang sulit, namun memilik pemandangan cantik, serta sikap ramah penduduk Suwanting, akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pendaki dari manapun”, kata Arif.
Senada dengan Arif, seorang pendaki dari kelompok Napala Jakarta, Een Rohayani yang ke Merbabu bersama suami, dan tiga anak mereka, mengakui pula keelokan pemandangan jalur Suwanting, dan keramahan warganya
“Kami sekeluarga benar – benar mendapat pengalaman istimewa mendaki Merbabu. Jalur Suwanting memang sulit. Tetapi itu sebanding dengan pemandangannya yang cantik. Penduduknya yang ramah, membuat ketiga anak kami terkesan. Ini bagus untuk melatih mereka berinteraksi sosial. Pendaki yang ingin mendapat nuansa berbeda, pasti akan mendaki Merbabu melalui Suwanting”, papar Een menerangkan.