Mengapa SARMMI Kembali ke Lombok dan Ke Daerah Terpencil Lagi?

Mengapa SARMMI Kembali ke Lombok dan Ke Daerah Terpencil Lagi?
Mengapa SARMMI Kembali ke Lombok dan Ke Daerah Terpencil Lagi?

Solo,(10/08)USAI MENGGELAR operasi kemanusiaan di Lombok Utara pada fase tanggap darurat, 8 Agustus – 1 September 2018, SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia (SARMMI), akan kembali ke Lombok. Melaksanakan operasi kemanusiaan pada fase pemulihan Lombok.

Kembali bergabung sebagai mitra sinergi SARMMI pada opersai kali ini adalah relawan-relawan _smart_ dari HW Univ. Muhammadiyah Surakarta. Mapala Univ Muhammadiyah Yogyakarta, Mapsa Univ. Muhammadiyah Purwokerto.

Kemudian Stacia Univ. Muhammadiyah Jakarta. Camp STIE Muhammadiyah Jakarta. Mapala Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat. Sapta Pala Jakarta.

Serta lembaga lain dari intern dan di luar Muhammadiyah. Juga beberapa orang relawan individu.

Fase tanggap darurat _(emergency respon)_ adalah tahap awal dari siklus penanganan dampak bencana alam. Tahap selanjutnya adalah pasca bencana yakni fase pemulihan. Kemudian rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Dengan kata lain, masalah kemanusiaan di Lombok yang porak poranda karena diguncang gempa 7,0 SR awal Agustus lalu, belum usai.

Itulah alasan utama SARMMI dan tim di atas akan operasi bersama lagi pada 12 – 30 September 2018.

Sama halnya pada operasi kemanusiaan fase tanggap darurat, di fase pemulihan, mereka tetap _focus area_ di daerah terpencil, terjauh, terisolir, dan belum didatangi relawan manapun.

Mereka memilih daerah “tidak biasa” sebagai ladang amal kolektif, karena dalam pemahaman mereka, operasi SAR juga mencakup upaya mencari _(search)_ daerah terpencil, terjauh, terisolir dan belum disentuh relawan lain. Lalu menyelamatkan _(rescue)_ semua warganya.

Menyelamatkan disini memiliki dimensi yang luas. Tak cuma menyangkut persoalan fisik yang berbentuk pertolongan medis, bantuan pemenuhan kebutuhan makan-minum, dan tindakan preventif untuk menyelamatkan korban gempa dari gangguan hujan, dingin, dan gempa susulan.

Tetapi juga menjangkau penanganan masalah psikologis, sosial, religius, dan menjaga karakter positif individu para pengungsi agar tak tergelincir menjadi mentalitas ‘pengemis’.

Setelah menemukan daerah yang dimaksud, para relawan SARMMI dan mitra sinerginya akan _stay_ disana. Hidup membaur bersama korban gempa di pengungsian.

Bencana alam – lebih-lebih gempa bumi – senantiasa menyisakan banyak masalah yang harus dituntaskan secepat-cepatnya dengan pendekatan multi disiplin ilmu, serta melibatkan banyak pihak yang saling sinergi secara berkesinambungan.

Aneka rupa masalah tersebut, muaranya ada di pengungsian di daerah terpencil yang belum disentuh relawan. Bukan pengungsi di perkotaan yang lebih dulu mendapat bantuan karena lebih mudah direspon semua pihak.

Dengan _full time_ berada di tengah pusaran dampak gempa, SARMMI dan mitra sinerginya lebih cepat menguraikan setiap masalah yang mendera para pengungsi, lantas mencari solusi praktisnya, kemudian mengajak pengungsi gotong royong melaksanakannya.

Menggerakan (Sekali lagi : menggerakan. Bukan menyuruh) pengungsi untuk proaktif mengentaskan masalah mereka, bukan perkara sepele.
Dibutuhkan pendekatan tertentu dengan teknik-teknik yang simpatik.

Situasi itu merupakan tantangan tersendiri bagi para relawan garis depan ( _front line_ ), yakni relawan yang _stay_ bersama pengungsi di daerah paling ujung.

Tantangan lainny adalah siap hidup jauh dari rasa nyaman tanpa mengeluh.

Menjadi relawan garis depan, memang pilihan yang tidak main-main.

Seorang _front line_ harus mempunyai kepekaan sosial level tinggi, memiliki kemampuan _leadership_, manajerial, _team work_ kreatif, bervisi ke depan, serta mempunyai segudang keberanian yakni berani capek, berani lapar, berani tidak mandi berhari-hari, serta berani malu alias tidak jaim.

Meski tergambar sukar, sebenarnya siapa pun bisa menjadi relawan garis depan dan bergabung ke tim relawan yang memiliki filosofis, _“makin terisolir terpencil makin mantap”_ ini. Yang penting ia memiliki garis tegas dalam dirinya bahwa :

_”Daerah bencana bukan tempatku meraih prestasi. Tetapi tempat dimana aku melaksanakan ajaran agamaku”._

Kata-kata itu pula yang menjadi “rahasia sukses” relawan SARMMI dan relawan mitra sinerginya saat menggelar operasi kemanusiaan episode pertama di tiga dusun terisolir yang menjadi _focus area_ mereka di Kecamatan Gangga, Lombok Utara.

Sukses disini tak cuma dalam definisi menuntaskan masalah pengungsi korban gempa pada fase _emergency respon_, tetapi menginspirasi pihak lain melakukan hal-hal yang jauh lebih hebat dari yang pernah dilakukan SARMMI dan mitra sinerginya selama di Lombok Utara. (*)

By : _Ahyar Stone_. Sekjen SARMMI