Kedatangan relawan SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia (SARMMI) dan mitra sinerginya ke desa Salua, menjadi inspirasi pemuda desa Salua untuk membentuk tim rescue dan tim relawan bencana.
Desa Salua berada di kecamatan Kulawi. Sigi. Dibanding desa-desa sekitarnya, kontur desa Salua memang berbeda.
Desa yang dihuni oleh 1250 jiwa itu, dikelilingi empat sungai yang sama-sama berpotensi banjir.
Bukit-bukit di sekitar desa Salua, pasca gempa ini cenderung mudah longsor.
Kondisi itulah yang membuat desa Salua senantiasa diintai tiga bencana sekaligus. Banjir. Longsor. Gempa.
Tetapi, karena kondisi itu pula relawan SARMMI dan mitra sinerginya, memilih desa Salua sebagai area operasi kemanusiaan pasca gempa 7, 7 Sulawesi Tengah.
Mitra sinergi SARMMI pada operasi kemanusiaan ini adalah Mapala Unmuha. Mapala UMSU. Stacia UMJ. Mapala UMY. Mapalamu Luwuk Banggai. Hiwata UM Palu. Sapta Pala Jakarta. Batara Guru Luwu Timur. Toms. Co Mataram. Waskita Karya Divisi 6 Palembang.
Selama berhari-hari berposko di desa Salua, para relawan diatas mendirikan masjid darurat, memulihkan air bersih, membangun sekolah darurat, membuat emergency toilet, mengaktifkan kegiatan TPA dan SD Inpres, mendirikan dapur umum, memperbaiki jalan, mendistribusikan bermacam-macam kebutuhan korban bencana, dan masih banyak lagi.
Selain itu, saat terjadi dua kali banjir di sungai Salua, serta banjir di sungai Tiwa di desa Tuba, kecamatan Gumbasa, Sigi. Tim relawan diatas langsung menyelenggarakan operasi SAR. Atau pencarian dan penyelamatan.
Rupanya kepedulian, kreatifitas, militansi juang, serta kesigapan relawan diatas saat merespon tiga banjir dan bukit-bukit longsor di sekitar Kulawi, menjadi inspirasi pemuda desa Salua untuk tanggap bencana.
“Kami kagum sekaligus terinspirasi oleh relawan. Kami berkeinginan menjadi tim SAR dan relawan bencana. Tapi tak tahu caranya?,” tanya seorang pemuda kepada pengurus SARMMI.
Kepada mereka ketua umum dan sekretaris umum SARMMI, secara bergantian menjelaskan ada perbedaan antara tim rescue dengan relawan.
Menjadi tim SAR, harus melalui pelatihan khusus. Tak bisa sembarang orang.
Sedangkan menjadi relawan bencana bisa dilakukan siapa saja melalui keahliannya, profesinya, hobi, pekerjaannya, atau latar belakangnya.
Seorang guru bisa menjadi relawan sekolah darurat di lokasi bencana. Ibu rumah tangga yang gemar memasak, bisa mendirikan dapur umum di barak pengungsian.
Mereka yang memiliki latar belakang perbengkelan dan pertukangan, dapat membuka bengkel gratis dan membangun hunian darurat.
Tim SAR bisa menjadi relawan bencana. Tetapi tak semua relawan bencana dapat bertindak sebagai tim rescue.
Yang paling baik adalah memiliki kualifikasi SAR dan merangkap relawan bencana.
Melihat desa Salua dan sekitarnya yang rawan bencana, sangat pantas bila pemuda Salua diberi pelatihan rescue, serta diedukasi tentang aktifitas kerelawanan di lokasi bencana.
“Bila terjadi bencana di desa Salua atau di sekitarnya, para pemuda desa Salua dapat langsung bergerak menyelamatkan korban, menjaga agar warga tidak panik, serta menghubungi semua pihak yang terkait dengan bencana,” kata ketua umum SARMMI.
Dengan adanya pemuda siaga bencana, berikutnya adalah menjadikan desa Salua sebagai Desa Tanggap Bencana.
Mendapat penjelasan demikian, para pemuda desa Salua mengaku kian paham dan makin bersemangat.
“Dalam waktu dekat kami akan rapat desa untuk menyiapkan pemuda respon cepat, sehingga tak lama lagi desa kami menjadi desa siaga bencana,” begitu kata pemuda desa Salua.
Untuk SARMMI memberi edukasi kebencanaan kepada korban bencana, bukan kali ini saja.
Hampir di setiap operasi kemanusiannya, SARMMI memberi edukadi dan menjadi inspirasi berbagai pihak.
(By Ahyar Stone / SARMMI)