Tepat benar pameo, “Bencana alam tak mengenal korbannya,” dialamatkan ke anggota Dewan Pengarah SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia (SARMMI), Zulfahmi Sengaji. Sosok yang berpengalaman di relawan bencana, sekarang malah menjadi korban tsunami.
Saat masih kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Zulfahmi aktif di Malimpa UMS dan Mapala Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Hingga saat ini – kendati sudah alumni– ia tetap tercatat sebagai anggota luar biasa di dua organisasi pecinta alam tersebut.
Sebagai mahasiswa yang aktif di pecinta alam, Zulfahmi terbiasa terjun ke daerah bencana alam. Baik sebagai rescuer maupun relawan bencana.
Usai kuliah, Zulfahmi berdomisi di desa Kunjir. Kecamatan Rajabasa. Lampung Selatan. Sekarang ia salah seorang pimpinan di STIE Muhammadiyah Kalianda. Lampung Selatan.
Meski begitu, kebiasaan baiknya terjun ke lokasi bencana, tak pernah surut.
“Setiap ada bencana alam, saya langsung tergerak untuk membantu para korbannya. Tidak ada kata tua atau muda untuk aktif di masalah kemanusiaan,“ begitu kata Zulfahmi suatu ketika.
Atas reputasi, dedikasi, berikut pengalaman panjang Zulfahmi di kebencanaan, sejak tahun 2015 ia diangkat menjadi anggota dewan pengarah SARMMI.
Organisasi kemanusiaan skala nasional itu beranggotakan Mapala di Perguruan Tinggi Muhammadiyah se Indonesia. Kantor pusatnya di kota Solo. Pengurusnya berada di berbagai daerah di tanah air.
Saat tsunami Selat Sunda menghantam pesisir Lampung Selatan (22/12). Zulfahmi kebetulan tak berada di rumahnya di desa Kunjir. Kala itu ia dan keluarga kecilnya sedang di Kalianda. Mereka selamat. Tetapi tidak untuk rumahnya.
Rumah permanennya yang tepat di bibir pantai, langsung ludes. Tiang, dinding, atap, serta semua perabotan lenyap di sapu tsunami. Yang tersisa hanya lantai dan bak kamar mandi yang tinggal separoh.
Pada saat yang sama, rumah mertua Zulfahmi yang tak jauh dari kediaman Zulfahmi, juga hancur lebur dihantam tsunami. Naasnya lagi, ibu mertua Zulfahmi dan neneknya yang malam itu menonton tv, tak kuasa menolak takdir. Keduanya tewas dalam kondisi mengenaskan.
Sementara adik ipar Zulfahmi – yang juga menonton tv – dapat diselamatkan. Bocah kelas 2 SD ini mengalami luka parah di kening. Sekarang setengah mukanya bengkak, dan masih rawat jalan untuk menyembuhkan keningnya yang ada sepuluh jahitan.
Meski dilanda duka hebat, tetapi Zulfahmi sadar, tak mungkin malam itu juga bergerak ke lokasi bencana di desa Kunjir. Situasinya masih berbahaya.
Esoknya, pagi-pagi benar Zulfahmi bergegas ke desa Kunjir. Setelah melihat sebentar rumahnya yang tak bersisa, Zulfahmi langsung ke titik tempat dimana rumh mertuanya berada.
Sambil meneteskan air mata, Zulfahmi bersama warga setempat memindahkan jenazah keluarganya dan korban lain warga Kunjir untuk diurus sesuai tuntunan agama.
Desa Kunjir merupakan desa terdampak tsunami yang paling parah. Di desa ini SARMMI kemudian mendirikan posko relawan kemanusiaan.
Misi posko adalah siaga SAR untuk mengantisipasi bencana susulan dan menyelenggarakan operasi kemanusiaan guna membantu warga Kunjir dan warga desa di dekatnya. Zulfahmi dipercaya menjadi ketua tim relawan kemanusiaan SARMMI.
“Zulfahmi adalah sosok yang tegar dan berpengalaman menangani korban bencana alam. Ia juga paham daerahnya. Penderitaannya sebagai korban tsunami justru membuatnya makin militan membantu sesama. Ia merupakan figur yang tepat memimpin misi besar ini,” begitu kata ketua umum SARMMI, Slamet Widodo, saat mengangkat Zulfahmi sebagai ketua relawan SARMMI yang _focus area_ di desa Kunjir.
Apa yang dikatakan Slamet Widodo, tidak meleset. Di lapangan, Zulfahmi benar-benar menjadi motor penggerak tim relawan.
Di sisi lain, sebagai korban bencana sebenarnya ia berhak mendapat bantuan. Namun yang terjadi bantuan jatahnya justru diberikannya ke orang lain.
Malah saat namanya tercantum sebagai penerima bantuan, Zulfahmi sendiri yang mencoret namanya. _(Ahyar Stone)_