Saat terjadi tsunami di Selat Sunda, banyak nelayan pesisir Lampung Selatan yang sedang menangkap ikan di perairan Selat Sunda. Ada yang tewas karena kapalnya terbalik dihantam gelombang dahsyat. Ada pula yang selamat dan justru tak tahu ada tsunami. Seperti kisah berikut ini.
Sanwani, demikian pria paruh baya ini disapa. Ia warga dusun Merak Dalam, desa Kunjir, kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan. Seperti umumnya warga desa Kunjir, profesi Sanwani juga nelayan.
Desa Kunjir merupakan desa terdampak tsunami yang paling parah. Di desa yang berada di bibir pantai inilah SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia (SARMMI) bersama mitra sinerginya mendirikan posko relawan kemanusiaan.
Mitra sinergi SARMMI adalah KAUMY Lampung. Mapasanda STIEM Kalianda. Akbid Wira Buana Metro. Mapala UMRI. Stacia UMJ. Camp STIEM Jakarta. Mapala UMY.
Kembali ke cerita Sanwani. “Sejak dulu setiap hari saya melaut, karena itu satu-satunya mata pencaharian saya untuk menghidupi keluarga. Tetapi sejak ada tsunami, saya tidak melaut. Entah kapan saya melaut lagi,” kata Sanwani bercerita kepada tim relawan SARMMI yang memberikan pendampingan psikososial kepadanya.
Pada Sabtu sore (22/12), Sanwani bersama lima rekannya sesama nelayan desa Kunjir pergi ke laut dekat pulau Sebuku. Rombongan kecil ini berangkat pukul tiga petang. Menggunakan tiga buah jukung atau perahu kecil khusus untuk memancing ikan. Jarak dari desa Kunjir ke tujuan adalah satu jam perjalanan jukung.
Di dekat pulau Sebuku, ada pulau Sebesi. Dibalik pulau Sebesi inilah gunung Krakatau dan anaknya berada.
Setibanya di perairan pulau Sebuku, mereka langsung memancing.
“Hari itu cuaca bagus. Tidak ada mendung. Tak ada ombak besar. Juga tak ada suara yang aneh-aneh. Laut tenang. Angin biasa saja. Semuanya normal. Kami malah tak tahu kalau malam itu ada tsunami,” kenang Sanwani.
Setelah semalam di laut dan mendapat hasil cukup banyak, sekitar pukul delapan pagi (23/12), Sanwani dan rombongan kecilnya pulang. Mereka masih belum tahu jika semalam ada tsunami.
Hanya saja, sepanjang perjalanan pulang, mereka merasa aneh melihat begitu banyak ember, sandal, pintu lemari, kayu kasau, jendela, papan dinding rumah, dan perabotan berbahan platik yang terapung memenuhi lautan.
Mereka pikir benda-benda itu adalah sampah. Lantaran masih banyak yang bagus, beberapa “sampah” itu mereka ambil untuk dibawa pulang. Lumayan buat dipakai di rumah.
Mendekati desa Kunjir, Sanwani kembali merasa aneh. Kenapa desa Kunjir menjadi areal terbuka? Warung-warung di sepanjang bibir pantai tak tampak lagi lagi. Apa semalam ada penggusuran?
Setelah sampai di pantai, Sanwani lagi-lagi merasa heran, jam segini biasanya istrinya sudah menunggu untuk membantunya membawa ikan hasil pancingan ke darat. Tetapi sekarang istrinya tak ada disini.
Tiba-tiba ada warga yang berteriak menyuruh Sanwani pulang. Bergegas Sanwani ke rumahnya. Jukung, alat pancing dan ikan, ditinggalnya begitu saja.
Sampai di tujuan, Sanwani tak menemukan rumahnya. Ia hanya melihat puing-puing. Di sana warga dan kerabatnya sudah berkumpul.
Beberapa kerabat Sanwani kemudian menceritakan, sekitar pukul setengah sepuluh tadi malam, atau saat Sanwani mancing di laut, terjadi tsunami Selat Sunda. Desa Kunjir termasuk yang dihantam tsunami. Warung-warung di bibir pantai habis disapu tsunami. Rumah warga dekat pantai banyak yang rata dengan tanah. Termasuk rumah Sanwani.
Mendengar cerita ini Sanwani berusaha tegar, tetapi tembok hatinya runtuh tatkala kerabatnya menyampaikan kabar pilu : istri Sanwani meninggal dunia ditimpa tembok dinding rumah yang ambrol tersorong tsunami. Bibik dan mertua Sanwani juga meninggal dunia. Sedangkan anak terkecil Sanwani luka parah di bagian kening.
Sanwani menangis. Hatinya hancur. Tsunami paling dahsyat seolah baru saja menghantam hati terdalamnya.
Beberapan kerabat berusaha menenangkanya. Tetapi hanya “Istighfar..istighfar..” yang terdengar oleh telinga Sanwani. Seluruh tubuhnya tiba-tiba lunglai. Angin Selat Sunda masih menderu. (Ahyar Stone)