Ratna Wulan : Korban Tsunami Selat Sunda yang Ingin Menjadi Relawan Kemanusiaan

Ratna Wulan (baju biru) dan anggota Mapasanda saat hendak menyeberang menuju Munas SARMMI.
Ratna Wulan (baju biru) dan anggota Mapasanda saat hendak menyeberang menuju Munas SARMMI

Sekitar delapan puluh orang peserta Musyawah Nasional (Munas) SARMMI, tak seorang pun tampak berwajah tegang. Tak terlihat pula ada peserta yang menelepon berteriak-teriak sambil menuding-nuding udara kosong untuk menyalahkan lawan bicaranya.

Semua peserta tampak riang. Sesekali terdengar koor tawa lepas sebagai respon spontan bila ada yang melucu.

Bagi orang lain, situasi itu adalah pemandangan ganjil. Munas merupakan kegiatan penting SARMMI yang salah satu agenda utamanya adalah pergantian pengurus. Tetapi tak ada peserta yang kasak kusuk cari dukungan suara atau saling politisir. Peserta malah ketawa-ketiwi dalam persahabatan yang hangat.

Anggota Stacia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang menjadi panitia Munas yang dilaksanakan pada 21-22 Januari 2019, di kampus UMJ dan pendopo Citra Alam Lakeside Jakarta, keningnya juga tak berkerut. Sesekali mereka membaur ke kerumunan peserta yang asyik baku canda. Dari sini terlihat benar pengalaman Stacia sebagai Mapala besar yang terbiasa menyelenggarakan kegiatan akbar. Bekerja cekatan, akrab dan tak kehilangan selera humor.

Peserta Munas adalah utusan berbagai Mapala di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) se Indonesia yang menjadi anggota SARMMI. Panitia dan sesama peserta mayoritas sudah saling kenal. Malah tak sedikit di antara mereka pernah bergabung di kegiatan SARMMI. Seperti operasi kemanusiaan SARMMI di Lombok, Palu dan sebagainya.

Lantaran itulah, guyonan mereka tak jauh dari seputar basah kuyub di lokasi bencana, keliru memasang terpal dapur umum, kesiangan bangun padahal harus ngajar di sekolah darurat, kesasar di kebun warga sambil memanggul bantuan pipa air bersih, dan kisah istimewa lainnya yang hanya dimiliki oleh mereka yang berpengalaman terjun ke lokasi bencana.

Hanya ada sedikit peserta Munas yang tak saling kenal. Tepatnya belum dikenali peserta lain. Mereka ini umumnya adalah anggota muda dari sebuah Mapala PTM.

Seperti halnya Ratna Wulan dan tiga sohibnya utusan Mapasanda STIEM Kalianda Lampung Selatan.
Mereka berempat adalah pendatang anyar di jagad besar pecinta alam di Indonesia. Mereka, sebagaimana yang diceritakan Wulan, adalah anggota baru Mapasanda. Jangkauan pertemanan mereka di luar Mapasanda juga belum luas.

Tetapi mereka tak canggung ikut nimbrung di suasana riang Munas. Walaupun hanya sebatas kelompok penyumbang tawa, karena mereka memang belum punya pengalaman gokil yang bakal mengundangkan canda bila dikisahkan di arena seperti ini.

“Pengetahuan kami berempat tentang pecinta alam masih minim. Kami ikut Munas SARMMI agar bisa belajar dengan anggota Mapala lain yang lebih maju dan bersahabat dengan mereka. Semua itu akan menjadi bekal kami mengembangkan Mapasanda sepulang Munas ini,” kata Wulan bersemangat.

Pemahaman mereka tentang teknis relawan bencana alam menurut Wulan juga sangat terbatas. Tetapi mereka memiliki keinginan besar menjadi seperti relawan kemanusiaan SARMMI yang pergi ke segala lokasi bencana alam di tanah air untuk menolong sesama.

“Relawan adalah perbuatan mulia, saya ingin benar melakukannya,” ungkap Wulan.

Rupanya keinginan Wulan memang kuat. Saat Wulan ditanya oleh seorang tokoh senior SARMMI pada malam penutupan Munas di pendopo Citra Alam, tentang keinginannya menjadi relawan, lagi-lagi tanpa ragu Wulan menjawab ingin menjadi relawan.

Wulan Berbagi Cerita Kepada Peserta MuNas SARMMI Ke - 2
Wulan Berbagi Cerita Kepada Peserta MuNas SARMMI Ke – 2

“Menjadi relawan kemanusiaan di garis depan seperti SARMMI, bukan pilihan mudah, karena itulah SARMMI memilihnya. Relawan garis depan adalah relawan yang berada di area bencana yang terisolir, terjauh, terparah, atau kawasan bencana paling beresiko yang dihindari relawan dari tim lain. Apa Wulan mau menjadi seperti relawan SARMMI?” begtu kata si penanya.

“Saya siap terjun ke lokasi bencana. Siap di garis depan sekalipun,” tegas Wulan.

Si penanya dan peserta Munas yang memenuhi pendopo Citra Alam untuk mengikuti sesi penutupan Munas, sepertinya tak yakin mendengar jawaban Wulan.

Wajah Wulan yang lembut, dan penampilannya yang jauh dari kesan garang, memang kurang meyakinkan untuk memasuki daerah bencana yang ekstrim. Tetapi penampilan memang sering menipu.

“Apa alasan Wulan ingin menjadi relawan?” lanjut si penanya seolah mewakili rasa penasaran peserta Munas.

Wulan masih berdiri. Ia memegang erat microphone di kedua tangannya. Kali ini sambil tersenyum manis, wajahnya menengadah ke atas. Menatap langit-langit pendopo. Sejurus kemudian Wulan berkata, “Saya akan bercerita.”

Saat Wulan hendak bercerita, hujan mengguyur kawasan di sekitar pendopo. Lumayan deras. Tetapi peserta Munas tak menghiraukannnya. Kisah yang hendak disampaikan Wulan pastinya lebih menarik dibanding suara air jatuh dari langit. Wulan kemudian mulai bercerita.

Saya lahir dan dibesarkan di desa Kunjir yang letaknya di pesisir Lampung Selatan.

Saya, adik, orang tua dan nenek tinggal di rumah yang jaraknya ke laut hanya sekitar sepuluh meter. Dari jendela rumah kami, gunung Krakatau dan anaknya, sangat jelas terlihat.

Seperti yang sama-sama kita tahu, menjelang akhir bulan Desember lalu, anak gunung Krakatau longsor. Lantas terjadi tsunami di Selat Sunda.

Akibatnya, hampir semua rumah yang berada di bibir pantai desa Kunjir, hancur dan hilang diterjang tsunami.

Termasuk rumah kami dan rumah saudara-saudara saya.

Ketika terjadi tsunami, kebetulan saya masih di rumah kakak di Kalianda. Ini yang membuat saya selamat dari tsunami. Tetapi tidak dengan keluarga saya di desa Kunjir.

Sekitar jam delapan malam lebih, atau satu jam sebelum tsunami, saya telpon ibu saya di Kunjir. Kepadanya saya katakan, saya disuruh kakak menginap di Kalianda. Jadi saya tak bisa pulang ke Kunjir untuk menjadi panitia hajatan tetangga.

Ibu tidak keberatan saya bermalam di Kalianda. Ibu juga akan menyampaikan ke tetangga kalau saya terpaksa tak bisa menjadi panitia hajatan mereka.

Suara ibu di telepon, terdengar seperti biasanya. Tak ada yang janggal. Usai menelpon justru saya mendadak dihinggapi perasaan aneh. Saya gelisah.

Jarum jam terus berjalan. Perasaan saya tambah tak karuan. Untuk mengusirnya, saya melihat-lihat status WA teman-teman saya di Kunjir.

Saya heran melihat status mereka yang berisi doa-doa mohon perlindungan, dan informasi mati lampu karena desa Kunjir hancur dihantam ombak besar.

Status-status WA mereka saya ceritakan ke kakak saya dan suaminya. Mereka berusaha menenangkan saya walaupun wajah mereka sebenarnya terlihat resah.

Sekitar jam sepuluh malam, saya menelpon beberapa teman dan saudara saya di Kunjir. Tetapi tak ada yang tersambung. Saya lalu menelpon ibu. Tapi teleponnya tak aktif. Ini mengherankan, karena selama ini HP ibu saya selalu hidup.

Sambil bercerita, sesekali Wulan tersenyum. Tetapi peserta Munas yang menjadi pendengar kisah Wulan paham, senyum itu hanyalah upaya Wulan untuk menekan pilu di hatinya.

Hujan di arena Munas tambah deras. Tetapi peserta Munas lagi-lagi tak menggubrisnya. Wulan telah menjadi magnet mereka. Wulan melanjutkan ceritanya.

Malam itu saya tak bisa memejamkan mata. Kegelisahan tambah memuncak. Kepala saya berat karena dipenuhi tanda tanya. Sambil terus berusaha menelepon siapapun yang bisa saya hubungi di desa Kunjir, saya berdoa memohon diberiNya keajaiban.

Keajaiban itu datang. Sekitar jam dua dini hari, telepon saya tersambung ke seorang teman di Kunjir.

“Wulan, rumahmu hancur dihantam ombak besar. Ibumu mungkin tak selamat karena tertimpa runtuhan rumahmu, Ayahmu masih melaut. Tak ada yang tahu kabarnya.”

Begitu kata teman saya. Malam itu adalah malam paling menyiksa dalam hidup saya.

Usai sholat subuh, saya, kakak dan suaminya bergegas pergi ke Kunjir. Disana kami melihat rumah kami tinggal lantainya. Rumah kami berikut semua isinya, hanyut disapu ombak.

Pagi itu desa Kunjir kacau balau. Kayu, papan, runtuhan tembok, dan perabotan yang rusak bertebaran dimana-mana. Warga banyak yang histeris, ketakutan, dan panik.

Ibu saya meninggal ditimpa tembok rumah. Nenek saya meninggal karena disorong ombak. Adik saya luka parah di kening. Ayah saya ternyata selamat.

Dari orang-orang di Kunjir, saya jadi tahu, sekitar jam setengah sepuluh tadi malam desa kami dihantam tsunami.

Malam itu semua warga kunjir langsung mengungsi. Adik saya yang luka parah dan wajahnya penuh darah juga mengungsi bersama saudara saya. Pasti adik saya sangat kesakitan.

Sambil mengambarkan situasi keluarganya, wajah Wulan terlihat mendung. Tampaknya ia mulai masuk pada bagian kilas balik yang paling menyayat hatinya. Wulan berusaha tegar. Namun upayanya sia-sia. Air mata Wulan mengalir. Ia tak sanggup melanjutkan ceritanya.

Seorang anggota Camp STIEM Jakarta, Elis Farwati, yang duduk dekat Wulan berdiri, bangkit untuk memeluk Wulan yang terisak-isak.

Elis yang malam itu memakai seragam SARMMI seolah menyimbolkan bahwa Wulan tak sendirian menghadapi dukanya. Semua anggota SARMMI ada untuknya.

Suasana pendopo Citra Alam mendadak hening. Walaupun belum tahu ujung cerita Wulan, sebagian putri peserta Munas tak kuasa menahan air mata. Para peserta putra yang biasanya heboh, kali ini tertunduk. Larut dalam nestapa Wulan.

Beberapa menit kemudian, Wulan mulai sanggup melanjutkan ceritanya. Hampir semua mata pendengar tertuju padanya. Hanya sedikit yang masih terpekur sambil pura-pura melihat layar HP untuk sedikit mengobati sedih yang menyesaki dada.

Ayah dan adik, lanjut Wulan, kami bawa ke tempat kakak saya di Kalianda. Jaraknya sekitar 20 kilometer dari desa Kunjir.

Adik saya meski selamat tetapi harus mendapat dua puluh jahitan di keningnya. Sedangkan ayah saya mengalami guncangan hebat. Ia trauma melihat laut, dan sering menangis bila teringat ibu dan nenek saya.

Desa Kunjir rupanya wilayah yang paling parah kena tsunami. Di desa kami itulah relawan SARMMI mendirikan posko kemanusiaan untuk membantu warga Kunjir.

Walaupun saya anggota Mapasanda, saya tak bisa bergabung dengan mereka, karena tiap hari saya harus menjaga ayah dan adik saya di Kalianda. Tetapi bila ke Kunjir, sesekali saya mengobrol dengan relawan SARMMI dan melihat kerja keras mereka membantu korban tsunami.

Wulan kembali tak kuasa menahan kesedihan. Matanya mulai lagi berkaca-kaca.

“Sangat berat menjadi korban bencana alam. Tetapi sungguh mulia yang dilakukan relawan untuk meringankan penderitaan korban bencana,” kata Wulan.

“Itulah alasan saya ingin menjadi relawan,” ujar Wulan menyudahi ceritanya.

Atmosfir pendopo Citra Alam mendadak terasa berbeda. Tak ada peserta yang beranjak dari duduknya. Semua hanyut oleh suasana hatinya sendiri-sendiri. Wulan justru yang tegar. Ia malah berupaya menghibur orang-orang yang duduk di dekatnya.

“Ayo teteh, tetaplah bersemangat,” kata Wulan kepada Elis Farwati yang masih mengusap matanya degan tisu.

Di luar pendopo, hujan telah reda. Di langit terlihat bulan. Cahayanya memenuhi langit.

Mungkin itulah Ratna Wulan. Permata bersinar terang bagaikan rembulan menerangi kegelapan hidup semua orang yang berduka. (Ahyar Stone)