Kelompok Stacia Hijau yang Mengubah Desa Kami (Bagian 1)

Anggota RTM sedang main musik marawis dan protokol acara.
Anggota RTM sedang main musik marawis dan protokol acara.

Malam itu rumah Abdul Ghofur dipenuhi warga desa Tanjung Burung. Tenda terpal yang didirikan di halaman rumahnya juga dipadati warga. Tamu yang tak kebagian tempat karena datang terlambat, terpaksa duduk di kursi yang diatur berjejer memanjang di kedua sisi jalan raya di depan rumah permanen bercat putih itu. Kediaman Abdul Ghofur ramai tamu karena ia menyelenggarakan walimatus safar.

Walimatus safar adalah tradisi sebagian umat Islam di Indonesia untuk melepas calon jamaah haji atau umroh. Ghofur – demikian lelaki paruh baya itu biasa disapa — menyelenggarakannya karena beberapa hari lagi akan ibadah umroh bersama keluarganya.

Tadi telah dilantunkan salawat yang dipimpin seorang ustad, pertunjukan musik marawis oleh sekelompok remaja, kemudian ceramah agama oleh kyai desa Tanjung Burung. Sekarang adalah acara utama walimatus safar.

Anak-anak desa Tanjung Burung, pulang sekolah bermain di halaman posko tabur mangrove KSH
Anak-anak desa Tanjung Burung, pulang sekolah bermain di halaman posko tabur mangrove KSH

Semua tamu berdiri bersisian membentuk barisan panjang meliuk-liuk tak terputus. Ghofur yang mengenakan kemeja putih sederhana, diiringi keluarganya, berjalan menghapiri tamu-tamunya. Rombongan kecil itu dipimpin seorang ustad yang berjalan paling muka.

Kepada setiap tamunya, Ghofur melakukan ritual yang sama : menyalami, memeluk, pamitan, mohon restu, minta maaf sambil mendo’akan tamunya agar diberi Allah SWT rejeki dan kemudahan untuk melaksanakan ibadah umroh.

Dermaga yang dibangun KSH untuk lokasi penanaman mangrove di muara Cisadane. Dermaga ini dipakai juga oleh nelayan yang hendak melaut, dan tempat anak-anak bermain.
Dermaga yang dibangun KSH untuk lokasi penanaman mangrove di muara Cisadane. Dermaga ini dipakai juga oleh nelayan yang hendak melaut, dan tempat anak-anak bermain.

Mengiringi ritual bersahaja itu, semua tamu melantunkan salawat. Seorang yang berjalan dekat Ghofur, sesekali melempar bunga mawar ke atas yang jatuhnya diarahkan ke Ghofur yang sedang memeluk tamu. Beberapa tamu yang dipeluk Ghofur tampak meneteskan air mata. Suasana religius bercampur haru sangat terasa.

“Panitia pelaksana walimatus safar di rumah bang Ghofur adalah Remaja Tabur Mangrove,” kata Marbawi.

“Yang menjadi protokol dan main music marawis juga anggota Remaja Tabur Mangrove,” tambah Ubay, rekan Marbawi. Dua pemuda ini adalah pengurus Remaja Tabur Mangrove (RTM).

Marbawi dan Ubay lantas bergantian menerangkan, RTM kata mereka, adalah komunitas yang beranggotakan muda-mudi desa Tanjung Burung, kecamatan Teluk Naga, Tangerang. Komunitas ini dipelopori oleh Ghofur yang sekarang menyelenggarakan walimatus safar. Ia juga dipercayai menjadi ketua RTM.

“RTM didirikan tiga tahun silam. Saat itu kegiatannya hanya menanam mangrove di muara sungai Cisadane,” ujar Marbawi.

Kala itu terang Marbawi, hanya bang Ghofur yang memiliki pengetahuan tentang menanam mangrove. Pengalaman dan pengeahuan anggota RTM lain masih terbatas. Dukungan warga yang sangat minim juga membuat upaya RTM menanam mangrove sering menemui kendala, sehingga tak banyak lahan kitis di muara Cisadane yang berhasil mereka hijaukan.

“Situasi itu berubah ketika Kelompok Stacia Hijau datang ke desa kami,” ungkap Marbawi.

Kelompok Stacia Hijau (KSH) didirikan oleh Stacia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Awalnya hanya bertujuan menyelamatkan kawasan pantai di muara Cisadane dengan cara menanam mangrove.

Tetapi semakin jauh melangkah, mereka sadar, menanam mangrove berarti juga harus menyertakan program konservasi, pengelolaan sampah, serta pemberdayaan ekonomi dan budaya warga setempat. Semua ini harus ditangani menyeluruh, berkesinambungan dan tuntas.

KSH kemudian mendirikan home base di desa Tanjung Burung. Pada peristiwa itulah RTM dan KSH bertemu. Lalu bermutualisme.

“KSH datang ke desa kami hampir tiga tahun lalu. Mereka langsung membimbing RTM,” kenang Marbawi.

“Dari KSH kami menjadi mengerti cara berorganisasi dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan,” tambah Ubay.

Menurut Marbawi dan Ubay, kadang-kadang anggota RTM diajak KSH ke Kampus UMJ dan menginap di rumah anggota senior Stacia. Disana kata keduanya, anggota RTM diskusi panjang lebar tentang banyak hal bersama pengurus KSH. Hasil diskusi, mereka sampaikan ke anggota RTM lainnya. Mereka jadi sama-sama tercerahkan.

KSH juga memotivasi kami untuk gemar membaca dan rajin-rajin membuka internet untuk memperluas pengetahuan. Sekarang hampir semua anggota RTM tahu jenis-jenis mangrove, paham cara menanamnya dan mengerti nilai ekonominya.

Akrab dengan KSH membuat RTM tambah maju. Kegiatan RTM tak lagi sekedar menanam mangrove, tetapi bertambah dengan mendirikan taman bacaan, melahirkan kelompok musik marawis, mengedukasi masyarakat, dan sebagainya, Termasuk sebagai tenaga siap kerja ketika warga desa Tanjung Burung punya gawe, seperti menjadi panitia walimatus safar Ghofur tadi.

“Sekarang RTM telah berhasil mendirikan enam taman bacaan, dan akan terus kami tambah. Sehingga nanti semua warga Tanjung Burung terutama anak-anak, memiliki pengetahuan luas sebagai bekal masa depan mereka,” terang Marbawi.

Warga Sholat di Mushola yang dibangun KSH. Mushola ini tepat di pinggir sungai Cisadane
Warga Sholat di Mushola yang dibangun KSH. Mushola ini tepat di pinggir sungai Cisadane

Posko KSH yang dibangun di pinggir kali Cisadane, kata Marbawi juga difungsikan warga sebagai ruang publik. Disana ada kamar mandi, sarana mencuci, mushola, dermaga, ruang baca, aula serba guna, menara, kursi-kursi dan halaman bersih yang nyaman. Semua itu boleh dimanfaatkan warga.

Posko KSH juga digunakan aparat desa untuk menerima tamu dari luar, termasuk menerima kunjungan pejabat pemerintah.

Di posko KSH, setiap pagi anak-anak mandi dan ibu-ibu mencuci. Siangnya anak-anak pulang sekolah main disana. Sorenya banyak warga yang bercengkrama di Posko KSH. Malam hari posko juga ramai didatangi warga.

“Dulu sesama warga sini kurang akrab, tetapi sejak ada posko KSH yang berfungsi pula sebagai ruang publik, warga akhirnya sering bertemu di posko KSH. Awalnya saling sapa, lalu saling kenal. Sekarang hubungan warga disini sangat akrab dan kompak. Ini membuat kami mudah menjalankan program untuk memajukan desa kami,” kata Marbawi.

“Kepada KSH, warga Tanjung Burung sangat berterima kasih, karena KSH yang mengubah desa kami menjadi lebih baik, berpengetahuan, kompak, ramah lingkungan, dan dikenal orang luar. Semua ini menjadi bekal untuk menyongsong masa depan desa kami,” kata Marbawi menyudahi kisah nyatanya.
(Ahyar Stone. 23/1/19)