Pecinta alam adalah pendidikan karakter yang paling baik. Idiom ini tak berlebihan, karena empat pilar pendidikan karakter yaitu, olah pikir, olah hati, olah raga, dan olah rasa, yang menjadi muatan di kegiatan pecinta alam, tak sekedar dapat memperbaiki karakter mereka yang sudah aktif di organisasi pecinta alam bernama Mapala. Bahkan, seorang yang masih dalam proses menjadi anggota Mapala, telah merasakan manfaat mengikuti kegiatan pecinta alam. Karakter mereka langsung membaik saat itu juga.
Adalah pengalaman Tuistin Darwati dan empat temannya yang mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) Mapala Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB). Selama enam hari mengikuti Diksar di hutan Kanagarian Sungai Bangek, Koto Tangah, Padang, pada akhir Februari lalu, Titin – demikian Tuistin Darwati biasa disapa – mengaku mendapat banyak pelajaran berharga yang membuatnya berubah dalam menjalani hidup.
Titin tertarik ikut Diksar, bermula dari pengalamannya mendaki gunung Marapi dan Singgalang. Seperti umumnya pendaki pemula dari Sekolah Menengah, Titin kala itu berharap mendapati pemandangan eksotis sambil mendengar nyayian indah burung – burung cantik penghuni hutan di dua gunung yang popular di Sumatra Barat tersebut.
Namun harapan Titin pupus. Yang ia temui justru tumpukan sampah di sepanjang jalur pendakian hingga ke puncak gunung. Burung pun tak terlihat, apalagi yang bernyanyi. Hanya hentakan musik dang dut yang didengar Titin dari handphone beberapa pendaki amatir seperti dirinya.
“Parahnya lagi” kata Titin mengingat, “Banyak orang yang mengambil Eidelwess. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, seplastik besar. Impian saya melihat keelokan gunung dan mendengar suara-suara alami, kandas. Saya sedih. Benar-benar sedih”.
Titin Sadar, kesedihan tidak akan menuntaskan masalah apapun. Ribuan ratapan tidak akan menjadikan gunung bebas dari sampah plastik. Jiwa pedulinya terusik. Idealisme mulai menyala. Si belia Titin ingin melakukan sesuatu, dan langkah itu dimulainya dengan mendaftar menjadi anggota Mapala.
“Saya suka mendaki dan peduli pada gunung beserta kehidupan yang ada disana. Mapala tempat yang baik untuk menampung keinginan saya melakukan sesuatu untuk alam yang saya cintai, Itulah kenapa saya masuk Mapala“, kata Titin berapi-api.
Berbeda dengan Titin yang masuk Mapala lantaran didorong pengalaman nyata dari pendakian, empat teman Titin sesama peserta Diktsar yaitu Hayatul Fikri, Rahmat Fauzi, Ravia Sisaka, dan Remon, mengaku masuk Mapala disamping bertujuan memperbaiki diri, dan juga urusan perkuliahan.
Hayatul Fikri, pemuda berbadan kerempeng ini mengaku mengikuti Diksar karena ingin belajar lebih terbuka dalam bergaul. “Saya tipikal tertutup yang cenderung gampang putus asa”, kata Fikri mengungkap dirinya.
“Saya dengar, dimanapun anak-anak pecinta alam berada, suasananya pasti penuh canda. Mereka terbuka, tangguh, dan solidaritasnya tinggi. Saya ingin berada di tengah mereka, agar saya ikut berjiwa terbuka, dan tidak mudah menyerah”, kata Fikri.
Ravia Siska lain lagi alasannya. Mahasiswi berkulit agak gelap ini mengaku masuk Mapala, bukan untuk gagah-gagahan. Tetapi untuk berlatih madiri, dan ingin mengetahui hal-hal baru yang selama ini asing baginya.
Sementara Remon dan Rahmat Fauzi, disamping alasan-alasan personal, mereka masuk Mapala juga dilatari faktor akademis.
“Saya kuliah di kehutanan. Selama kuliah hingga setelah lulus, aktivitas saya tidak akan jauh dari hutan belantara. Hanya ilmu di Mapala yang paling dekat dengan aktivitas ini. Selain itu, saya ikut Mapala juga ingin belajar memimpin”, kata Rahmat Fauzi.
Fauzi menuturkan, tiap hari peserta Diksar berjalan menyusuri hutan menuju titik tertentu tempat materi Diklatsar diberikan instruktur. Setiap hari pula peserta diwajibkan bergiliran menjadi ketua regu.
“Ketika giliran menjadi ketua, saya baru paham, menjadi pemimpin membutuhkan kesabaran, kepedulian, dan harus bersikap optimis. Dari Diksar ini pula saya tahu, untuk masuk hutan, perlu persiapan khusus. Ini pengalaman berharga bagi saya selaku mahasiswa kehutanan”, kata Fauzi.
Selama Diksar, peserta benar-benar diuji terutama oleh alam, dan tidak semuanya tabah. Suhu dingin, guyuran hujan, kelelahan, dan rasa lapar yang mendera, membuat Hayatul Fikri berniat mundur pada hari keempat. Barang pribadi dikemasi, dan tanda peserta dicopotnya. Ia tahu resiko peserta yang mengundurkan diri, yaitu gagal jadi anggota Mapala. Tetapi Fikri siap menerima resiko buruk ini.
Ketika dipamiti Fikri, Remon sambil menekan haru berupaya memotivasi Fikri agar melanjutkan Diksar yang tinggal dua hari. Ia berharap Fikri batal mundur. Teman yang lain juga berusaha mencegah Fikri.
Tekad Fikri yang sudah membatu, perlahan mencair. Kali ini justru ia yang terharu mendapat perhatian tulus teman-temannya. Fikri lantas mengalungkan kembali scraf tanda peserta. Fikri bertekad melanjutkan Diksar hingga usai. Ia akan lawan sikap melankolisnya.
Alam memang memberikan pelajaran berharga dengan cara menyediakan segala kemungkinan bagi mereka yang mendatanginya. Akibat berjalan dengan sepatu basah, telapak kaki Remon terserang kutu air, dan juga lecet-lecet. Remon yang selama ini tangguh, tumbang pada hari kelima Diksar. Kakinya sukar melangkah. Jika dipaksa, sakitnya minta ampun.
Sekarang gantian Fikri yang memotivasi Remon. Fikri bahkan tak keberatan memapah Remon, walaupun ia juga kelelahan. Ia ingin Remon tetap tegar, dan upayanya itu berhasil. Remon terus melangkah, kendati sesekali meringis.
Selama empat hari di kerimbunan hutan Kanagarian Sungai Bangek, ikatan emosional sesama peserta mulai menguat, dan cara terbaik untuk menjaga keutuhan adalah saling peduli. Ini disadari Siska. Ia hapal, Titin cenderung pendiam dan sering mengalah. Tetapi Siska tidak ingin mengambil keuntungan dari sikap temannya ini.
Ketika dalam materi survival training (belajar teknik bertahan hidup) mereka menemukan setandan pisang hutan, atau berhasil menangkap beberapa ekor ikan kecil di sungai dekat hutan, Siska acapkali mempersilahkan Titin makan duluan.
Akan halnya Titin, diperlakukan sedikit berbeda tak membuatnya merasa istimewa. Ia beberapa kali duluan menyantap hidangan sederhana yang dimasak secara gotong royong, tetapi dalam batas sekedarnya. Titin tahu mereka disini sama-sama kelaparan. Ia tak tergiur kenyang sendirian.
“Diksar membuat kami mengerti perlunya peduli, dan berbagi manfaat kepada teman. Hutan ini juga membiasakan kami menghargai apapun makanan yang kami temukan”, kata Titin.
Tadi, kata Titin, Siska bercerita padanya, selama ini Siska kerap membeli nasi bungkus porsi besar di warung dekat kost. Karena tidak habis, sisanya langsung masuk tong sampah. Sepulang Diksar, Siska akan menghentikan kebiasaannya membuang sisa makanan. Setiap ke warung, Siska akan membeli nasi secukupnya, agar tak ada yang terbuang.
Siska mungkin tidak mendengar yang Titin ceritakan. Lelah dan dingin membuatnya tak kuat menahan kantuk. Ia tertidur di bahu Titin. Sementara Titin berusaha tetap terjaga, dan jangan sampai menggigil. Titin berbuat demikian agar Siska tetap nyaman bersandar di bahunya yang basah kuyub karena diguyur hujan.
“Diksar membuat rasa cinta saya ke alam, tambah kuat. Alam adalah guru kita. Jika alam rusak, manusia akan kehilangan tempat belajar” kata Titin.
Adanya perubahan – perubahan pada peserta Diksar, dibenarkan oleh seorang senior Mapala UMSB. Rofil Febianda Effendi. Sejak mendapat materi kelas khas Mapala seperti mendaki gunung, survival, navigasi, panjat tebing dan sebagainya, Rofil telah melihat, sedikit demi sedikit karakter peserta membaik.
“Kendati Diksar belum usai, peserta telah mengalami perubahan pada dirinya. Yang kurang peduli, menjadi peduli. Yang cengeng menjadi tangguh. Yang egonya tinggi, sekarang memiliki solidaritas. Perubahan ini kian menegaskan, kegiatan pecinta alam memang pendidikan karakter yang terbaik”, demikian kata Rofil yang juga dikenal sebagai aktivis penyelamat Siamang di belantara Sumatera Barat. (Ahyar Stone)