Mengenaskan benar nasib warga desa Lenggahsari kecamatan Cabangbungin, Bekasi. Tanggul sungai Citarum dan tanggul sungai Ciherang jebol bersamaan. Sebanyak 17 RT dari sejumlah RT di desa Lenggahsari sontak terendam air setinggi pinggang orang dewasa. Ribuan warga mengungsi dalam kondisi basah tanpa bahan pangan memadai.
Demikian kata relawan kemanusiaan Stacia Univ. Muhammadiyah Jakarta, Tasol Agus Tersiantoro yang datang ke desa Lenggahsari bersama tiga anggota Stacia yakni Rifay Singgih. M. Junaedi, Nurdin Leasy serta relawan kemanusiaan SARMMI (SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia) dan tim dari PKD Mapala se-Jabodetabek (24/2/21)
“Sampai di sana kami bergabung ke posko kemanusiaan warga di masjid At Taqwa desa Lenggahsari, lalu melakukan water rescue untuk mengevakuasi warga menggunakan perahu karet yang kami bawa,” kata Tasol.
Evakuasi warga jelas Tasol, dilakukan berulang-ulang dari pagi hingga menjelang gelap. Warga dijemput dari rumah mereka yang terendam banjir lalu diangkut ke camp pengungsian di masjid At Taqwa.
Selain evakuasi mereka juga mendistribusikan kebutuhan dasar pengungsi yang diambil di desa Jaya Sakti.
“Untuk mengambil bahan pangan dan obat-obatan dari desa Jaya Sakti, kami naik perahu karet sejauh satu kilometer melintasi medan-medan banjir,” ujar Tasol.
Sementara itu dihubungi terpisah, ketua tim operasi kemanusiaan SARMMI untuk desa Lenggahsari, Seprian Nur Hidayatullah mengungkap, hingga hari kelima pasca banjir, perhatian pemerintah dan instansi terkait belum muncul. Padahal warga sangat berharap.
“Banjir menyebabkan perekonomian warga desa Lenggahsari lumpuh total. Warga kekurangan bahan bangan. Bantuan hanya datang dari relawan. Tapi jumlahnya masih jauh dari cukup,” jelas Seprian.
Warga tegas Seprian, sangat berharap ada perhatian dan bantuan dari pemerintah dan instansi yang terkait dengan masalah kebencanaan.
“Masalah di desa Lenggahsari adalah persoalan kemanusiaan. Sudah seharusnya persoalan ini menjadi prioritas pemerintah untuk segera diselesaikan secara cepat, menyeluruh dan tuntas,” pungkasnya. (Ahyar Stone/Mapala UMY-SARMMI)
Mobil yang ditumpangi tiga pengurus Kelompok Stacia Hijau (KSH), baru saja masuk halaman posko tabur mangrove KSH desa Tanjung Burung, kecamatan Teluk Naga, Tangerang. Bocah-bocah yang sedang bermain disana langsung menyapa.
“Om Fatih, om Roy, mbak Dine, kok lama nggak kesini?” tanya seorang bocah.
“Tiga hari lalu om kesini sayang,” jawab lelaki yang dipanggil om Roy.
Seolah tak hirau kebenaran jawaban Roy, bocah-bocah itu berebut menyalami tiga pengurus KSH yang masing-masing Moh. Al Fatih, Roy Nurdin, dan Dine.
Usai menyalami, sekelompok bocah usia SD itu kembali melanjutkan aktivitasnya. Ada yang main petak umpet, membaca, dan main tebak-tebakan benda di genggaman di tangan. Mereka sangat ceria.
“Anak-anak, remaja, dan para orang tua di desa ini, sangat dekat dengan kami. Tetapi kedekatan ini tidak dibangun dalam sehari. Perlu waktu yang tidak sebentar,” kata Roy Nurdin sambil menurunkan barang bawaan dari mobil.
Fatih kemudian mengisahkan sedikit latar belakang KSH berkiprah di Desa Tanjung Burung.
“Awalnya Stacia hanya berniat fokus menyelamatkan kawasan muara dengan cara menanam mangrove. Tetapi semakin jauh melangkah kami melihat masalah disini sangat kompleks dan saling berkaitan,” terang Fatih.
Menanam mangrove lanjut Fatih, juga harus menyertakan kegiatan konservasi, penanganan sampah, serta pemberdayaan ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Sungai Ciliwung juga harus dinormalisasi.
Semua persoalan itu harus ditangani menyeluruh dan berkesinambungan. Akan percuma rajin menanam mangrove tetapi abai terhadap sampah.
Sampah adalah musuh tanaman mangrove, karena sering menyangkut di mangrove muda yang baru ditanam lalu menyeretnya ke laut lepas.
“Kompleksitas itulah yang membuat keluarga besar Stacia kian termotivasi, dan itulah dasar dibentuknya KSH,” kata Fatih.
Untuk sampai ke lokasi penanam mangrove di muara Cisadane, KSH perlu memiliki dermaga dan sarana fisik lainnya.
KSH lantas membangun dermaga, aula, mushola, MCK dan sarana lain di tepi sungai Ciliwung yang berada di wilayah desa Tanjung Burung.
“Lambat laun kami dengan warga saling kenal. Sekarang hubungan KSH dengan warga desa Tanjung Burung sangat akrab dan saling memberi manfaat,” lanjut Fatih.
Hari itu, tiga pengurus KSH hendak mengecek tanaman mangrove mereka di muara sungai Cisadane. Marbawi dan dua temannya sudah menyiapkan perahu untuk membawa mereka kesana.
Perahu yang dikemudikan Marbawi, suara mesinnya sangat berisik. Tetapi lajunya lambat. Sampah yang memenuhi sungai Cisadane menjadi penghambat perjalanan mereka.
Berkali-kali Marbawi mematikan mesin perahu. Lalu temannya yang berada di belakang perahu, jongkok untuk mengambil sampah yang menyangkut di baling-baling.
“Lihatlah sampai yang hanyut di sungai Cisadane. Tiap hari jumlahnya bisa berton-ton. Bayangkan bila setahun, berapa ton sampah masuk ke laut?” kata Roy Nurdin sambil menunjuk segala macam benda buangan dari warga hulu sungai.
“Dari Tanjung Burung ke muara, normalnya setengah jam. Tapi kalau sampah banyaknya seperti ini, perjalanan bisa lebih lama,” timpal Marbawi.
Sepanjang perjalanan, Roy Nurdin menceritakan, dua tahun lebih KSH berkiprah, sedikit banyak telah membawa hasil. Namun mereka belum puas, karena gagasan besar yang hendak diujudkan belum tercapai sepenuhnya.
“Salah satu target besar kami adalah menjadikan kawasan tabur mangrove sebagai objek wisata edukasi. Para pengunjung dapat sekaligus menikmati alam, mendengar suara burung liar, mengerti perlunya penyelamatan kawasan muara, serta ikut menanam mangrove di lahan yang disediakan,” kata Roy Nurdin.
Sementara itu, disela-sela kesibukannya menjalankan mesin perahu, sesekali Marbawi menyapa nelayan berperahu besar yang berpapasan dengan mereka.
Menurut Marbawi, nelayan berperahu besar itu pulang dari menangkap ikan di laut. Sedangkan yang berperahu kecil, menangkap ikan di sungai Cisadane. Kehadiran perahu kecil itu baru terlihat sekitar setengah tahun terakhir.
“Lihat nelayan berperahu kecil itu. Saya kenal. Sudah bertahun-tahun tak terlihat. Baru sekarang dia menangkap ikan lagi. Ini membuktikan sungai Cisadane mulai ada ikannya. Dulu tidak ada ikan, karena kawasan mangrove rusak parah,” ujar Marbawi.
Kawasan yang ditanami mangrove oleh KSH adalah delta di Muara Cisadane yang luasnya belasan hektar. Delta ini menurut Fatih, adalah bukti bahwa reklamasi pantai yang terjadi secara alamai, justru lebih dahsyat dari reklamasi buatan manusia.
“Daratan itu terbentuk dari lumpur gunung di daerah hulu yang hanyut, kemudian menyatu dengan ratusan ton sampah yang telah memenuhi sungai,” kata Fatih memjelaskan.
Di kawasan tabur mangrove, KSH sudah membangun dermaga perahu, pondok, dan fasilitas lain untuk pembibitan mangrove. Areal sungai dekat dermaga dipasang pagar bambu untuk melindungi mangrove muda yang baru ditanam dari terjangan sampah.
Cara itu ternyata sangat efektif, karea berfungsi pula untuk menahan sampah agar tak memasuki area pembibitan, dan lahan-lahan yang hendak ditanami mangrove.
Sesampanya di kawasan tabor mangrove, Fatih langsung meninjau pohon-pohon mangrove yang pertama kali ditanam KSH. Lebih dari dua tahun lalu kata Fatih, kawasan ini hanya genangan air yang dipenuhi sampah. Kini kawasan itu sudah hijau, karena mangrove yang ditanam KSH sudah besar-besar.
“Burung juga sudah bersangkar di pohon-pohon mangrove. Kepiting dan udang sudah banyak. Ini menandakan kawasan yang tadinya kritis sekarang, sekarang habitatnya sudah mulai pulih,” ungkap Fatih.
Sebenarnya terang Fatih, dulu kawasan ini tak semuanya kritis. Ada beberapa bagian yang ditumbuhi mangrove ukuran besar. Tetapi ditebangi petani tambak karena menganggap hutan mangrove adalah habitat burung.
“Burung-burung memangsa bibit ikan di tambak. Bagi petani burung itu adalah predator,” kata Fatih.
Untuk itulah KSH memberi pemahaman ke petani tambak agar tidak menebang pohon mangrove. Mengusir burung dapat dilakukan dengan cara membuat orang-orangan seperti petani di sawah. Nantinya burung akan mencari ikan di sungai.
Agar kelangsungan hidup burung terjaga, RTM melarang pengunjung menembak burung.
Menanami belasan hektar kawasan di muara Cisadane, tentu butuh biaya besar. Biaya jelas Roy Nurdin, berasal dari swadaya pengurus KSH, dermawan, dan dengan mengundang siapa saja yang tertarik menanam mangrove di area khusus.
Proses membuat area khusus, dimulai dari pengeringan genangan air, lalu diuruk. Setelah menjadi pulau kecil, KSH mengundang beberapa pihak untuk menanaminya. Pulau kecil itu akan diberi nama yang penanamnya.
“Salah satu pulau kami dinamai Niriwest Island, karena artis terkenal Nirina Zubir dan temannya memesan pulau untuk mereka tanami,” jelas Roy Nurdin.
Pembuatan pulau kecil dikerjakan oleh anggota RTM. Bibit mangrove yang ditanam juga berasal dari anggota RTM.
“Selain mengubah kawasan kritis di muara menjadi hutan mangrove dan mengembalikan fungsi alaminya, KSH secara langsung juga memberi manfaat ekonomi bagi warga Tanjung Burung. Seperti dengan membeli bibit mereka dan memberi insentif pembuatan pulau kecil itu,” lanjut Roy Nurdin.
Keterangan Roy Nurdin dibenarkan oleh Marbawi, malah kata Marbawi dengan adanya kawasan tabur mangrove KSH, Mereka juga dapat menyewakan perahu ke wisatawan dan menyediakan souvenir. Anggota RTM juga berencana membuat kuliner khas desa Tanjung Burung yang berasal dari olahan mangrove.
“Buah mangrove jenis pidada bisa dibuat bolu. Mangrove jenis api-api buahnya bisa untuk dodol dan onde-onde. Potensi ini akan kami garap serius. Agar berhasil tentu saja kami perlu pendampingan dari KSH,” jelas Marbawi.
Hari telah senja. Saat rombongan KSH bersiap-siap meninggalkan muara, terdengar teriakan merdu sepasang burung yang saling kejar di dahan mangrove api-api.
Bisa jadi itu ekspresi kegirangan mereka menyambut anaknya yang baru menetas dan bakal hidup tenteram disana.
Kawasan mangrove KSH memang untuk rumah anak dan cucu pasangan burung yang berbahagia itu.
(Ahyar Stone. 23/1/2019)
Malam itu rumah Abdul Ghofur dipenuhi warga desa Tanjung Burung. Tenda terpal yang didirikan di halaman rumahnya juga dipadati warga. Tamu yang tak kebagian tempat karena datang terlambat, terpaksa duduk di kursi yang diatur berjejer memanjang di kedua sisi jalan raya di depan rumah permanen bercat putih itu. Kediaman Abdul Ghofur ramai tamu karena ia menyelenggarakan walimatus safar.
Walimatus safar adalah tradisi sebagian umat Islam di Indonesia untuk melepas calon jamaah haji atau umroh. Ghofur – demikian lelaki paruh baya itu biasa disapa — menyelenggarakannya karena beberapa hari lagi akan ibadah umroh bersama keluarganya.
Tadi telah dilantunkan salawat yang dipimpin seorang ustad, pertunjukan musik marawis oleh sekelompok remaja, kemudian ceramah agama oleh kyai desa Tanjung Burung. Sekarang adalah acara utama walimatus safar.
Semua tamu berdiri bersisian membentuk barisan panjang meliuk-liuk tak terputus. Ghofur yang mengenakan kemeja putih sederhana, diiringi keluarganya, berjalan menghapiri tamu-tamunya. Rombongan kecil itu dipimpin seorang ustad yang berjalan paling muka.
Kepada setiap tamunya, Ghofur melakukan ritual yang sama : menyalami, memeluk, pamitan, mohon restu, minta maaf sambil mendo’akan tamunya agar diberi Allah SWT rejeki dan kemudahan untuk melaksanakan ibadah umroh.
Mengiringi ritual bersahaja itu, semua tamu melantunkan salawat. Seorang yang berjalan dekat Ghofur, sesekali melempar bunga mawar ke atas yang jatuhnya diarahkan ke Ghofur yang sedang memeluk tamu. Beberapa tamu yang dipeluk Ghofur tampak meneteskan air mata. Suasana religius bercampur haru sangat terasa.
“Panitia pelaksana walimatus safar di rumah bang Ghofur adalah Remaja Tabur Mangrove,” kata Marbawi.
“Yang menjadi protokol dan main music marawis juga anggota Remaja Tabur Mangrove,” tambah Ubay, rekan Marbawi. Dua pemuda ini adalah pengurus Remaja Tabur Mangrove (RTM).
Marbawi dan Ubay lantas bergantian menerangkan, RTM kata mereka, adalah komunitas yang beranggotakan muda-mudi desa Tanjung Burung, kecamatan Teluk Naga, Tangerang. Komunitas ini dipelopori oleh Ghofur yang sekarang menyelenggarakan walimatus safar. Ia juga dipercayai menjadi ketua RTM.
“RTM didirikan tiga tahun silam. Saat itu kegiatannya hanya menanam mangrove di muara sungai Cisadane,” ujar Marbawi.
Kala itu terang Marbawi, hanya bang Ghofur yang memiliki pengetahuan tentang menanam mangrove. Pengalaman dan pengeahuan anggota RTM lain masih terbatas. Dukungan warga yang sangat minim juga membuat upaya RTM menanam mangrove sering menemui kendala, sehingga tak banyak lahan kitis di muara Cisadane yang berhasil mereka hijaukan.
“Situasi itu berubah ketika Kelompok Stacia Hijau datang ke desa kami,” ungkap Marbawi.
Kelompok Stacia Hijau (KSH) didirikan oleh Stacia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
Awalnya hanya bertujuan menyelamatkan kawasan pantai di muara Cisadane dengan cara menanam mangrove.
Tetapi semakin jauh melangkah, mereka sadar, menanam mangrove berarti juga harus menyertakan program konservasi, pengelolaan sampah, serta pemberdayaan ekonomi dan budaya warga setempat. Semua ini harus ditangani menyeluruh, berkesinambungan dan tuntas.
KSH kemudian mendirikan home base di desa Tanjung Burung. Pada peristiwa itulah RTM dan KSH bertemu. Lalu bermutualisme.
“KSH datang ke desa kami hampir tiga tahun lalu. Mereka langsung membimbing RTM,” kenang Marbawi.
“Dari KSH kami menjadi mengerti cara berorganisasi dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan,” tambah Ubay.
Menurut Marbawi dan Ubay, kadang-kadang anggota RTM diajak KSH ke Kampus UMJ dan menginap di rumah anggota senior Stacia. Disana kata keduanya, anggota RTM diskusi panjang lebar tentang banyak hal bersama pengurus KSH. Hasil diskusi, mereka sampaikan ke anggota RTM lainnya. Mereka jadi sama-sama tercerahkan.
KSH juga memotivasi kami untuk gemar membaca dan rajin-rajin membuka internet untuk memperluas pengetahuan. Sekarang hampir semua anggota RTM tahu jenis-jenis mangrove, paham cara menanamnya dan mengerti nilai ekonominya.
Akrab dengan KSH membuat RTM tambah maju. Kegiatan RTM tak lagi sekedar menanam mangrove, tetapi bertambah dengan mendirikan taman bacaan, melahirkan kelompok musik marawis, mengedukasi masyarakat, dan sebagainya, Termasuk sebagai tenaga siap kerja ketika warga desa Tanjung Burung punya gawe, seperti menjadi panitia walimatus safar Ghofur tadi.
“Sekarang RTM telah berhasil mendirikan enam taman bacaan, dan akan terus kami tambah. Sehingga nanti semua warga Tanjung Burung terutama anak-anak, memiliki pengetahuan luas sebagai bekal masa depan mereka,” terang Marbawi.
Posko KSH yang dibangun di pinggir kali Cisadane, kata Marbawi juga difungsikan warga sebagai ruang publik. Disana ada kamar mandi, sarana mencuci, mushola, dermaga, ruang baca, aula serba guna, menara, kursi-kursi dan halaman bersih yang nyaman. Semua itu boleh dimanfaatkan warga.
Posko KSH juga digunakan aparat desa untuk menerima tamu dari luar, termasuk menerima kunjungan pejabat pemerintah.
Di posko KSH, setiap pagi anak-anak mandi dan ibu-ibu mencuci. Siangnya anak-anak pulang sekolah main disana. Sorenya banyak warga yang bercengkrama di Posko KSH. Malam hari posko juga ramai didatangi warga.
“Dulu sesama warga sini kurang akrab, tetapi sejak ada posko KSH yang berfungsi pula sebagai ruang publik, warga akhirnya sering bertemu di posko KSH. Awalnya saling sapa, lalu saling kenal. Sekarang hubungan warga disini sangat akrab dan kompak. Ini membuat kami mudah menjalankan program untuk memajukan desa kami,” kata Marbawi.
“Kepada KSH, warga Tanjung Burung sangat berterima kasih, karena KSH yang mengubah desa kami menjadi lebih baik, berpengetahuan, kompak, ramah lingkungan, dan dikenal orang luar. Semua ini menjadi bekal untuk menyongsong masa depan desa kami,” kata Marbawi menyudahi kisah nyatanya.
(Ahyar Stone. 23/1/19)
Penghujung November lalu, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, diguyur hujan amat deras selama berhari-hari. Selain menyebabkan banjir di beberapa sungai, tumpahan air dari langit itu menimbulkan retakan-retakan yang kemudian berubah menjadi bencana longsor di sejumlah tempat di Pacitan.
Kombinas banjir-longsor yang datang nyaris bersamaan, sempat membuat aktivitas ekonomi warga seantero Pacitan lumpuh total. Dikarenakan jaringan listrik dan komunikas terputus, jalanan tergenang air dengan ketinggian rata-rata sepinggang orang dewasa, tanggul jebol, sekolah diliburkan karena ruang-ruang kelas rusak, persawahan terendam banjir, dan beberapa rumah warga tertimpa longsor.
“Di satu sisi kami sangat sedih melihat situasi di Pacitan. Tetapi di sisi lain kami kagum dengan kemandirian warga disini. Karena pada saat tanggal darurat awal kejadian, sebagian lingkungan sudah dikondisikan secara mandiri oleh warga setempat dengan bergotong-royong terutama untuk membuka akses jalan dan fasilitas umum,” demikian kata kordinator operasi SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia (SARMMI) untuk bencana Pacitan, Edy Setyawan (7/12)
Selain Edy Setyawan dari Mapala Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Untuk operasi di Pacitan, SARMMI menurunkan Novia Reza Arisandi dan Triana Wulan dari Mapala UMY. Andriyansyah dan Romdon Ariwijaya dari Stacia Universitas Muhammadiyah Jakarta. Sweaib Laibe. Serta dua orang relawan yakni Rehwinda Naibaho dari KMPA Manunggal Bhawaba Institut Teknologi Indonesia. Nikadek Siska Dwi Diantari dari Mafesripala Universitas Sriwijaya Palembang.
Lebih jauh Edy Setyawan yang akrab disapa Bemo menjelaskan, akibat putusnya semua akses, tim rescue dan tim relawan yang hendak ke Pacitan menemui banyak kendala yang membuat mereka terhambat sampai ke titik-titik bencana. Pada fase darurat kebencanaan awal, wilayah Pacitan menjadi terisolir.
“Pada fase tanggap darurat awal yang bekerja di Pacitan hanya pihak setempat yaitu BPBD Pacitan, Basarnas, TNI dan Polri serta beberapa elemen lokal. Karena minimnya personil, sarana dan prasarana serta luasnya wilayah terdampak bencana, yang dilakukan baru sebatas evakuasi dan pertolongan pada daerah terdampak bencana. Pendataan luasan wilayah belum dilakukan samasekali oleh pihak-pihak setempat,” lanjut Bemo.
Tim SARMMI tiba di Pacitan pada dinihari 3 Desember 2017. Setelah mengikuti apel relawan di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pacitan. Tim SARMMI bergebung dengan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Pacitan sebagai Posko Induk tanggap bencana Muhammadiyah. Selama di posko induk, Tim SARMMI bekerjasama dengan potensi dari MDMC. Kokam. HW. Pramuka, dan Karang Taruna setempat.
“Tim SARMMI sejak hari pertama fokus pada kerja-kerja assessment atau pendataan. SARMMI adalah tim pertama yang terjun langsung mendata berbagai kerusakan dan kerugian di bencana Pacitan ini,” ungkap Bemo yang pernah memimpin operasi SARMMI di gunung Semeru Jawa Tengah.
Sementara itu, Andriyansyah yang sehari-hari disapa Mandel, menceritakan, pada hari pertama, tim SARMMI fokus area di dusun Jaten Desa Karangnongko, Kecamatan Kebonagung. Jaten adalah dusun yang letaknya paling bawah. Medan yang dilalui lumayan sulit karena konturnya pegunungan dan terpencil. Area ini termasuk blankspot atau sulit sinyal selular. Selama pergerakan ke dusun Jaten, tim SARMMI lebih banyak jalan kaki.
“Tidak ada korban jiwa.Tetapi beberapa bangunan mengalami kerusakan berarti. Warga dusun Jaten memerlukan penerangan, obat-obatan, dan alat berat pembuka akses jalan. Menurut Kepala Dusun Jaten, bencana kali ini adalah yang paling parah selama 40 tahun terakhir,” papar Mandel.
Hari berikutnya lanjut Mandel yang pernah memimpin operasi SARMMI di bencana longsor Banjarnegara ,Jawa Tengah, tim SARMMI masuk ke Dusun Watuadeg. Karena letaknya di perbukitan yang terpencil, menuju dusun ini sangat sulit,dan tidak bisa diakses menggunakan kendaraan bermotor. Mendatangi dusun Watuadeg tim SARMMI sepenuhnya jalan kaki.
Kondisi dusun Watuadeg lanjut Mandel, lumayan parah. Sebaran longsoran yang menghantam desa ini mengenai kandang ternak, kebun buah-buahan, pemukiman, dan fasilitas umum seperti masjid, jalan, pos ronda, tiang listrik, dan lain-lain.
“Akibatnya beberapa rumah warga rumah tertimbun longsor. Tembok rumah warga lainnya retak-retak. Akses jalan terputus. Tidak ada penerangan. Warga takut ke kebun karena pekarangan, ladang, dan perbukitan banyak yang terbelah yang berpotensi menimbulkan longsoran baru” kata Mandel.
Selanjut Tim SARMMI memasuki dusun Tawang. Karena dusun ini tidak jauh dari dusun Watuadeg dan sama-sama berada di wilayah Kecamatan Karangnongko. Situasinya tidak jauh berbeda. Tim SARMMI juga sepenuhnya jalan kaki.
Bantuan yang sudah masuk adalah sumur bor untuk kebutuhan air bersih. Kendati demikian warga dusun Tawang dan dusun Watuadeg tetap membutuhkan tim medis, obat-obatan, bahan makanan, keamanan, penerangan, dan upaya relokasi.
Semu data hasil assessment kami sampaikan ke pihak-pihak yang berkompeten untuk menindaklanjutinya. Setelah suasana mulai kondusif, tim SARMMI resmi menyudahi operasi pada 6 Desember 2017 ” kata Mandel.
Terhadap pilihan mendatangi dusun-susun yang sulit dijangkau, baik Bemo maupun Mandel. Sama-sama beralasan, di medan-medan seperti itulah tim SAR dari kalangan Mapala semestinya berada.
“Sebagai aktivis Mapala kami sudah dibiasakan untuk survive di medan yang terpencil, terjauh, tersulit, tersusah diakses, karena kami dari Muhammadiyah, dimanapun berada, kami tetap membawa semangat kepedulian khas Muhammadiyah. Hal inilah yang kemudian memotivasi kami menjadi tim pertama yang masuk ke beberapa dusun-dusun terisolir di bencana Pacitan ini,” demikian kata Bemo dan Mandel (Ahyar Stone)
Bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda,28 Oktober 2017, Stacia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) meresmikanPusat Edukasi MangroveKelompok Stacia Hijau (KSH) yang berada di Tanjung Burung, Teluk Naga, Tangerang Banten.Selain memiliki sarana untuk edukasi mangrove, di area yang berada tepat di pinggir sungai Cidane ini dibangun pula mushola, perpusatakaan, dan fasilitas MCK.
Hadir dalam acara peresmian, Wakil Rektor 1 Bidang Kemahasiswaan UMJ, Kahar Marajaya. Anggota Komisi II LHKDPRD Prov. Banten, H. Jamin. Ketua 3 SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia, Lita Indriani. Ketua IKALUM FE UMJ, Kamil. LPSPL Serang, Zaid Abdur Rahman. Pembina Tabur Mangrove, Muhamad Guntur. Anggota IKALUM FE UMJ. Anggota Stacia. Mahasiswa UMJ. Warga Tanjung burung, serta tamu undangan.
Dalam sambutannya, Ketua KSH, Bella Kirali, SE menceritakan, ide mendirikan Pusat Edukasi Mangrove berasal dari anggota Stacia yang memang dikenal memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungan hidup. Lalu, lanjut Bella Kirali, untuk mengelola Pusat Edukasi Mangrove di Tanjung Burung didirikan Kelompok Stacia Hijau (KSH).
Tanjung Burung dipilih Bella Kirali, karena wilayah ini dilintasi sungai Cisadane yang setiap hari membawa sampah.
“Wilayah Tanjung Burung dilintasi sungai Cisadane yang sampahnya luar biasa banyak. Setiap hari air sungai yang mengalir berbarengan dengan sampah dari pagi hingga malam.Inilah yang membuat kami peduli dan akan berbuat sesuatu agar masyarakat ikut peduli dengan keadaan sekitarnya,” kata Bella Kirali.
Dikatakan pula oleh Bella Kirali, saat Stacia kesini, kondisi masyarakat Tanjung Burung masih memprihatinkan. Banyak bangunan rumah yang layak, namun belum sadar perlunya air bersih dan MCK.
“Dengan kondisi seperti itu, Tanjung Burung kami jadikan base camp KSH. Kami bangun fasilitas MCK . Fasiltas ini untuk masyarakat disini. Sehingga masyarakat di bantaran sungai tak lagi menggunakan air sungai untuk mencuci pakaian, mandi, buang air kecil dan besar,” papar Bella Kirali.
Terhadap paparan Bella Kirali, tokoh pemuda desa Tanjung Burung yang juga Pembina Tabur Mangrove, Muhamad Guntur, dalam sambutannya mengakui MCK yang dibangun KSH sangat membantu masyarakat terutama dalam memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari.
“Airnya bersih karena diambil langsung dari tanah dengan mesin yang memadai, dan ini membantu kelangsungan hidup warga sekitarnya. Mushola dan taman baca yang di bangun walaupun sederhana, sangat di gemari oleh masyarakat, utamanya anak-anak di Tanjung Burung yang memang haus akan pengetahuan,” kata Guntur.
Lebih jauh Guntur mengatakan, konservasi mangrove adalah impiannya sejak sepuluh tahun lampau.
“Sepuluh tahun yang lalu, saya mendapat binaan dari program Kebun Bibit Rakyat (KBR). Waktu pertama sikip di Tanjung Pasir. Program itu membuat saya mengerti dan tahu tentang mangrove dan jenis yang ada di sekitar sini. Dari situlah awalnya,“ kata Guntur.
Kemudian lanjut Guntur, saya mencari ilmu hingga ke Bali. Di pulau Dewata itu saya masuk kehutan mangrove serta mempelajari berbagai ilmu tentang mangrove.
“Ketika KSH keTanjung Burung, energi saya untuk mewujudkan impian lama muncul kembali. Saya juga berterima kasih kepada Pak Jamin sebagai orang yang memiliki lahan yang dijadikan base camp Pusat Edukasi Mangrove. Harapan saya setelah peresmian Pusat Edukasi Mangrove, KSH terus berjalan dan berkembang menjadi pendidikan bagi mahasiswa dan masyarakat umum,” pungkas Guntur.
Sementara itu anggota Komisi II LHK DPRD Prov Banten, H. Jamin yang pernah mengenyam pendidikan di IAIN Fakultas Syariah, dalam sambutannya mengaku, secara akademik ia tak ada kaitan dengan tanam-menanam. Tetapi lantaran memiliki lahan yang dapat diberdayakan untuk kepentingan masyarakat umum, ia mengijinkan lahannya digunakan oleh KSH.
“Saya mulai terkait dengan tanam-menanam justru pada saat menjadi anggota komisi II bidang LHK. Dan dengan adanya lahan ini semoga menjadi barokah untuk kita semua. Silahkan tempat ini dijadikan untuk ajang silahturahmi. Ajang untuk kita berbuat baik dan bersosialisasi dengan masyarakat,” kata H. Jamin.
Sedangkan Wakil Rektor I Bidang Kemahasiswaan UMJ, Kahar Maranjaya, dalam sambutannya yang penuh canda mengakui sudah lama mengamati kegiatan Stacia di TanjungBurung.
“Karena saya cukup aktif di media sosial, saya selalu mengamati gerak gerik KSH, yang mau bangun mushola, mau bangun MCK, mau bangun taman baca. Akhirnya saya tersentuh juga dan ingin mengetahui lebih banyak,” kata Kahar Maranjaya.
“Tadinya saya berfikir yang namanya tabur mangrove adalah benar-benar ditabur dan disebar begitu saja mangrovenya, bukan di tanam. Sekarang saya paham ternyata ditanam, karena itulah saya mengajak peserta yang hadir di acara ini untuk menanam Mangrove. KSH sudah menyediakan 500 batang bibit Mangrove, hari ini kita tanam dilahan konservasi di hilir Cisadane,” kata KaharMaranjaya yang disambut tepuk tangan para hadirin.
Selain menanam mangrove, acara peresmian Pusat Edukasi Mangrove dimeriahkan oleh pertunjukan musik remajaTanjung Burung, serah terima bantuan berupa buku bacaan anak kepada Remaja Tabur Mangrove Tanjung Burung, buku cerita bergambar kepada Taman Baca Inovator (TBI). Penyerahan Al-quran dan Perlengkapan sholat kepada DKM Masjid Al-Barkah. Acara ditutup dengan pembacaan doa, lalu dilanjutkan pelepasan burung dara. (*)
Bila dicermati seksama, ada dua hal yang sangat kentara dari anggota Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) di Muhammadiyah. Peduli kepada sesama, dan senantiasa tergerak menjalankan dakwah Muhammadiyah.
Dua karakter itu, bukan hasil dari proses yang instan. Melainkan dari proses panjang yang dilakukan secara terus menerus dan diulang-ulang. Hasilnya dua karakter itu melekat kuat pada diri setiap anggota Mapala, sehingga tatkala mereka sudah manyelesaikan kuliahnya, peduli dan dakwah Muhamadiyah menjadi gaya hidup mereka sehari-hari di manapun berada.
Adalah beberapa anggota Mapala Stacia Universitas Muhammadiyah Jakarta yang blusukan ke muara sungai Cisadane di Tangerang. Menjelajahi daerah pinggiran yang tidak populer adalah tradisi Stacia untuk mempertajam kepekaan sosial anggotanya. Di blusukan kali ini anggota Stacia mendapati fakta yang membuat mereka tercengang, prihatin, sekaligus buru-buru hendak berbuat baik.
Kawasan mangrove di muara sungai Cisadane yang mereka datangi, ternyata rusak parah. Hutannya nyaris gundul, air laut berlumpur tebal, dan sampah rumah tangga bertebaran di semua penjuru pantai dan di hutan mangrove yang tersisa. Kerusakan ini telah berlangsung lama. Tak ada yang peduli. Padahal kondisi ini membahayakan ekosistem muara Cisadane. Temuan ini kemudian menjadi perhatian semua anggota Stacia. Tua dan muda.
“Awalnya Stacia hanya berniat fokus menyelamatkan kawasan pantai dengan cara menanam mangrove. Tetapi semakin jauh melangkah kami melihat masalah disini sangat kompleks dan saling berkaitan,” ungkap senior Stacia Moh. Al Fatih kepada rombongan pengurus SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia, yang mengunjungi wilayah konservasi mangrove Stacia di desa Tanjung Burung, kecamatan Teluk Naga, Tangerang. (27/8)
Kepada tamunya, Fatih yang didampingi senior Stacia lain, Roy Nurdin, menjelaskan, menanam mangrove berarti juga menyertakan kegiatan konservasi, penanganan sampah, serta pemberdayaan ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Sungai Ciliwung juga harus dinormalisasi, dan dikeruk agar dalam.
Semua persoalan itu harus ditangani menyeluruh dan berkesinambungan, baik secara secara serial maupun paralel. Akan percuma rajin menanam mangrove tetapi abai terhadap sampah. Sampah adalah musuh tanaman mangrove, karena sering menyangkut di mangrove muda yang baru ditanam lalu menyeretnya ke laut lepas.
“Kompleksitas itulah yang membuat keluarga besar Stacia kian termotivasi, dan itulah dasar kami membentuk Kelompok Stacia Hijau, atau KSP pada bulan Mei lalu,” kata Fatih.
Mengenalkan Muhammadiyah
Kelompok Stacia Hijau adalah wadah yang memiliki badan hukum sendiri. Namun tetap berada dibawah Stacia. Pengurusnya anggota Stacia dari berbagai generasi. Mereka bergiliran bekerja di kawasan konservasi. Kendati tidak digaji, mereka menjalankan KSP secara profesional, ekonomis, dan militan. Mereka sadar, KSP membawa misi besar yang harus dikerjakan sungguh-sungguh selama bertahun-tahun.
Untuk sampai ke lokasi penanam mangrove di muara Cisadane, KSH harus memiliki dermaga dan sarana f isik lainnya. Ide ini membuat mereka mulai melakukan pendekatan kepada warga Tanjung Burung. Menurut Fatih, pendekatan kepada warga, perlu perjuangan khsusus. Warga yang bermukim disekitar muara Cisadane terkenal keras, dan sensitif terhadap pendatang.
“Warga disini sering dikadalin LSM. Jadi mereka curiga kepada lembaga yang datang. Mereka juga skeptis terhadap KSH. Tetapi setelah KSH selesai membangun dermaga, mushola, serta sumur bor lengkap dengan MCK, warga mulai percaya dengan niat baik KSH. Warga malah ikut membantu. Sekarang hubungan KSH dengan warga desa Tanjung Burung sangat kondusif,” lanjut Fatih.
Dermaga, sumur, MCK, dan mushola yang dibangun tepat di tepi sungai Ciliwung, ungkap Fatih, adalah pekerjaan kedua KSH. Sebelumnya mereka telah menanam ribuan mangrove. Anggaran membangun semua sarana itu dari iuran anggota Stacia dan donasi beberapa pihak. Dikerjakan gotong bersama warga. Fungsinya selain sebagai titik awal menuju area penananam mangrove, juga sebagai lokasi pemberdayaan ekonomi dan budaya masyarakat Tanjung Burung.
“Masyarakat di sepanjang sungai Cisadane terbiasa membuang sampah dan MCK disungai yang kotor” kata Fatih sambil menunjuk sungai Cisadane yang airnya keruh, sedikit berbau, dan tak pernah sepi dari hanyutan sampah rumah tangga. Volume sampah hanyut ini meningkat bila ada hujan.
Senada dengan Fatih, Roy menjelaskan, KSH memanfaatkan sumur dan MCK sebagai sarana untuk mengedukasi warga agar terbiasa MCK di air sehat dan tak lagi membuang sampah di sungai. Sekarang warga disekitar sini lebih suka antri di MCK yang dibangun KSH daripada mandi di sungai.
Lahan sisa membangun empat sarana tadi dimanfaatkan KSH untuk pembibitan mangrove dan pengelolaan sampah. Pembibitan dikerjakan bergiliran oleh ibu-ibu warga Tanjung Burung. Di lahan ini juga direncanakan menjadi sentral peternakan cacing tanah dengan memanfaatkan sampah yang telah dikelola. Sekarang KSH sedang mencari jaringan bisnis cacing tanah. KSH juga mengajak coprporate untuk investasi memberdayakan ekonomi warga Tanjung Burung.
“Sedangkan mushola kami jadikan sarana ibadah bersama warga. Mushola ini rencananya akan dikelola bersama remaja masjid setempat. Karena warga Tanjung Burung belum mengenal Muhammadiyah, mushola kami maksimalkan pula sebagai entry point memberi pencerahan tentang Muhamadiyah,” terang Roy.
Dibawah Mushola lanjut Roy, sudah dibangun dermaga untuk menuju lokasi penananam mangrove. Jarak tempuhnya sekitar setengah jam perjalanan air. Tetapi bisa lebih lama jika sungai sedang banyak sampah. Sampah sering menyangkut di baling-baling perahu.
Pusat Pelatihan Mangrove
Lahan konservasi mangrove di muara Cisadane yang dikelola KSH luasnya 24 Hektar. Sampai saat ini KSH telah menanam 15 ribu mangrove.
“Tetapi hampir separuhnya rusak dan hilang karena diterjang sampah,” ungkap Fatih.
Situasi itu justru memicu mereka untuk kian gigih menanam mangrove sambil menjalankan program penunjangnya, karena mangrove sangat bermanfaat bagi kelangsungan mahluk hidup.
Menurut Fatih, hutan mangrove berfungsi melindungi pantai dari erosi dan abrasi. Mencegah intrusi air laut. Tempat berkembang biak ikan, udang, kepiting, burung, monyet. Melindungi pemukiman penduduk dari badai, angin laut, dan gelombang pasang. melindungi daratan dari naiknya air laut akibat gas rumah kaca. Serta sebagai tempat wisata dan edukasi.
Saat ini hutan mangrove di Indonesia banyak yang rusak, tetapi baru sedikit pihak yang peduli. Hal ini kata Fatih karena masih banyak yang belum paham tentang mangrove dan fungsinya.
“Berangkat dari situasi itulah KSH akan menjadikan muara cisadane sebagai Pusat Pelatihan Mangrove Muhammadiyah,” Kata Fatih.
Diberi nama seperti itu, karena anggota Mapala sebagai kader Muhammadiyah memiliki tanggung jawab untuk memberi pencerahan kepada masyarakat. Pusat pelatihan akan mengedukasi siapa saja agar paham dan peduli terhadap hutan mangrove. Edukas dimulai dari teori, teknis pembibitan, cara menanam, budidaya, hingga memahami fungsi ekonomis dan ekologis tanaman mangrove. Usai mengikuti pelatihan, mereka kembali ke daerah asalnya untuk menerapkan ilmunya disana.
Selain itu lanjut Fatih, KSH terbuka bagi semua pihak untuk sama-sama membangun kawasan konservasi mangrove yang telah dikelola KSH. Mereka juga dipersilahkan untuk berpartisipasi di bidang pemberdayaan ekonomi, pengembangan SDM, keagamaan, atau di sektor sosial lainnya.
“Menanam mangrove serta membangun program pendukungnya perlu orang banyak, dan butuh kerjasama banyak pihak dari berbagai latar belakang. Stacia tidak akan mampu bekerja sendiri. Kami butuh pihak lain,” kata Fatih.
Terhadap ajakan KSH, pengurus SAR Mapala Muhammdiyah Indonesia, Tia Septiyani dari Camp STIEM Jakarta, mengaku sangat mengapresiasi kerja sosial KSH yang terencana baik dan dijalankan secara profesional. Sebagai dukungan SAR Mapala Muhammdiyah Indonesia akan mendampingi KSH di bidang keselamatan dan penyelamatan.
“Insya Allah kami akan menyelenggarakan pelatihan SAR untuk warga Tanjung Burung dan peserta edukasi mangrove. Pelatihan ini juga realisasi dari amanat Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, bahwa kegiatan SAR Mapala Muhammdiyah Indonesia adalah implementasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian pada masyarakat,” demikian kata Tia Septiani. (Ahyar Stone)
Banjir di Kabupaten Brebes sudah surut. Sekitar 5 000 warga yang semula mengungsi ke sejumlah tempat aman, telah kembali ke rumah.
Terjadinya banjir di Brebes, disebabkan oleh jebolnya empat titik tanggul penahan air sungai Pemali. Tanggul jebol lantaran tidak kuat menahan limpahan air hujan deras yang turun merata di wilayah Brebes (16/2).
Akibatnya, 12 desa di tiga kecamatan yakni Brebes, Jatibarang, dan Wanasari terendam air setinggi setengah hingga satu setengah meter. Ribuan warga dievakuasi ke 10 posko pengungsian. Kini semua pengungsi sudah meninggalkan posko pengungsian.
“Karena situasi mulai kondusif, hari ini kami menyudahi Operasi SAR di Brebes”, demikian keputusan Kordinator Lapangan SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia, Nurdin Leasy, di halaman Posko Penanggulangan Banjir Gedung DPRD Kabupaten Brebes (21/2)
SAR Mapala Muhammadiyah, kata Nurdin, tiba pada hari kedua bencana. Disamping menyisir desa-desa terdampak banjir, Tim SAR Mapala Muhammadiyah juga mendata kesehatan dan kebutuhan warga selama berada di pengungisan, mencermati kondisi tanggul sungai Pemali, serta sistem penanganan bencana banjir di Brebes.
“Sekarang masih musim hujan. Tanggul yang jebol hendaknya segera diperbaiki secara permanen agar lebih kokoh dari sebelumnya. Bila perbaikan cuma bersifat darurat, sangat rawan kembali jebol dihantam luapan hujan”, papar Nurdin.
“Untuk ke depan, managemen kebencanaan di Brebes tampaknya harus dirapikan lagi. Sehingga semua pihak yang terkait penanganan bencana, terkordinir dan sinergis”, demikian kata Nurdin yang berpengalaman mengikuti operasi SAR di berbagai bencana alam di tanah air.
Sependapat dengan Nurdin, seorang anggota tim SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia yang berasal dari Mapala Stacia Universitas Muhammadiyah Jakarta, Cicih Handika berujar, semua pihak khususnya dari instansi Pemerintah di Brebes, hendaknya dalam menangani bencana alam, ada kordinasi dan pertukaran informasi agar semuanya upadate informasi terkini di lapangan.
“Tetapi kita percaya, manajemen kebencanaan di Brebes ke depannya pasti lebih baik. Pihak – pihak terkait di Brebes pasti belajar banyak dari banjir ini”, kata Cicih berharap. (AS)
“Banjir yang sekarang melanda desa Teluk Lada sangat parah dibanding tahun-tahun sebelumnya”, demikian informasi dari tim operasi SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia, Azka Abdul Mujib, dari Teluk Lada. Kecamatan Sobang. Pandeglang (15/2)
Desa Teluk Lada, papar Azka, sebenarnya sudah menjadi pelanggang tetap banjir kiriman sungai Cileman. Hanya saja sekarang ini, desa yang dihuni lebih dari 900 jiwa ini benar-benar terendam air. Aktivitas warga lumpuh total.
Dilaporkan oleh Azka, akibat banjir “yang tidak biasanya” ini, selain Teluk Lada, desa-desa lain di Kecamatan Sobang juga terendam air muntahan sungai Cileman. Semua tempat terendam.
“Di desa lain banjir mulai surut. Tetapi untuk Teluk Lada, belum”, lanjut Azka.
Akibat hujan turun dengan intensitas tinggi yang mengguyur Kabupaten Pandeglang pada 10 Februari lalu, sebelas kecamatan di Pandeglang terendam air. Ketinggian air mencapai setengah hingga satu meter.
SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia menurunkan dua SRU (Search Rescue Unit) secara bersamaan ke Pandeglang. Selain Azka yang memimpin kekuatan dari Mahesa Universitas Muhammadiyah Tangerang. Terdapat pula Cicih Handika yang memimpin pasukan dari Mapala Stacia Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Dilaporkan oleh Cicih dari desa Sukaresmi. Kecamatan Sukaresmi, terdapat lebih dari 32 desa terdampak banjir di wilayah kecamatan Sukaresmi. 14 diantaranya paling parah.
“Tidak ada korban jiwa di Sukaresmi. Tetapi banjir telah mengakibatkan ratusan hektar sawah gagal panen. Infrastrukutr banyak yang tidak berfungsi. Selain itu, perabot milik warga banyak yang rusak. Beberapa rumah roboh”, ujar Cicih menjelaskan.
“Sekarang yang dibutuhkan warga adalah bahan pangan, air bersih, makanan bayi, seragam sekolah anak-anak, alat kebersihan, dan peralatan dapur, dan bantuan kesehatan”, lanjut cicih mengabarkan kebutuhan warga.
Sama halnya dengan Cicih, Azka juga melaporkan, warga desa Teluk Lada, dan desa-desa tetangga juga membutuhkan bantuan medis, dan kebutuhan sehari-hari berupa pangan, air, perlengkapan bayi dan anak-anak, serta alat-alat masak dan kebersihan.
Sejak SRU diberangkatkan ke Pandeglang, kantor pusat SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia di Solo, telah menggalang bantuan. Baik berupa donasi tunai, maupun barang kebutuhan warga.
“ Bantuan langsung dikirim ke lokasi SRU berada. Walaupun tidak banyak, namun cukup meringankan beban korban banjir”, begitu kata Bendahara Umum SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia, Aris Munandar di Solo (Ahyar Stone)
Bencana alam dapat terjadi kapan, dan dimana saja. Tim SAR yang baik adalah yang senantiasa mampu memberikan reaksi cepat terhadap semua bencana alam yang terjadi.
Sadar dituasi demikian, Ketua Umum Mapala Stacia Universitas MuhammadiyahJakarta (UMJ), Arif Pranoto, beberapa saat usai mendengar kabar terjadi banjir disertai longsor di 11 kecamatan di kabupaten Pandeglang. Banten. Langsung menggelar rapat kilat dewan pengurusnya.
Dari rapat mendadak yang dilangsungkan di Sekretariat STACIA UMJ. Cirendeu. Ciputat. (11/2) didapat kesimpulan : Stacia UMJ akan mengirim tim ke lokas bencana. Sejurus kemudian Arif Pranoto menghubungi pengurus Pusat SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia yang berada di Solo. Jawa Tengah.
Kepada Ketua Divisi Operasional SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia, Wawan Siswoyo, Arif Pranoto menyampaikan, Stacia UMJ akan mengirim dua anggotanya. Cicih Handika selaku kordiantor, dan Windi Marwati.
“Mereka yang mewakili Stacia UMJ menjadi tim pionir SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia. Fokus area-nya di kecamatan Sukaresmi. Pandeglang”, terang Arif Pranoto.
Oleh Wawan Siswoyo, pergerakan cepat Stacia UMJ, diinformasikan secara terbuka ke beberapa Mapala Perguruan Tinggi Muhammadiyah di seputaran DKI dan Tangerang. Gayung bersambut. Seorang senior Mahesa Universitas Muhammadiyah Tangerang, Kusnaedi, mengabarkan Mahesa akan memberangkatkan seorang anggotanya, Azka Abdul Mujib.
Mapala Alpiniste STIE Acmad Dahlan, akan mengirim anggotanya mengikuti operasi SAR gabungan ini.
“Seperti Mahesa, anggota Alpiniste yang ke lapangan akan berkordinasi dengan Stacia”, kata mantan Ketua Alpiniste, Eka Paldi mengabarkan.
Rencananya, tim gabungan yang dipimpin Cicih Handika, akan bekerja mulai 12 hingga 18 Februari 2017. Selain untu pencarian dan penyelamatan, tim juga akan melakukan pengumpulan data (assesmen).
Data yang didapat, akan dihimpun Pengurus Pusat SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia. Kemudian dibagikan ke masyarakat umum melalui media sosial.
Terhadap gerak cepatnya, Arif Pranoto menerangkan, Ini sesuai dengan visi SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia sebagai garda depan Muhammadiyah. “Agar Muhammadiyah senantiasa hadir di secepatnya untuk memberikan solusi di setiap masalah kemanusiaan di tanah air”, demikian kata Arif Pranoto.