Tag: Tanjung Burung

Kelompok Stacia Hijau yang Mengubah Desa Kami (Bagian 2. Habis)

Salah satu dermaga yang dibangun KSH di tepi sungai Cisadane, desa Tanjung Burung.

Mobil yang ditumpangi tiga pengurus Kelompok Stacia Hijau (KSH), baru saja masuk halaman posko tabur mangrove KSH desa Tanjung Burung, kecamatan Teluk Naga, Tangerang. Bocah-bocah yang sedang bermain disana langsung menyapa.

“Om Fatih, om Roy, mbak Dine, kok lama nggak kesini?” tanya seorang bocah.

“Tiga hari lalu om kesini sayang,” jawab lelaki yang dipanggil om Roy.

Seolah tak hirau kebenaran jawaban Roy, bocah-bocah itu berebut menyalami tiga pengurus KSH yang masing-masing Moh. Al Fatih, Roy Nurdin, dan Dine.

Usai menyalami, sekelompok bocah usia SD itu kembali melanjutkan aktivitasnya. Ada yang main petak umpet, membaca, dan main tebak-tebakan benda di genggaman di tangan. Mereka sangat ceria.

“Anak-anak, remaja, dan para orang tua di desa ini, sangat dekat dengan kami. Tetapi kedekatan ini tidak dibangun dalam sehari. Perlu waktu yang tidak sebentar,” kata Roy Nurdin sambil menurunkan barang bawaan dari mobil.

Fatih kemudian mengisahkan sedikit latar belakang KSH berkiprah di Desa Tanjung Burung.

“Awalnya Stacia hanya berniat fokus menyelamatkan kawasan muara dengan cara menanam mangrove. Tetapi semakin jauh melangkah kami melihat masalah disini sangat kompleks dan saling berkaitan,” terang Fatih.

Menanam mangrove lanjut Fatih, juga harus menyertakan kegiatan konservasi, penanganan sampah, serta pemberdayaan ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Sungai Ciliwung juga harus dinormalisasi.

Semua persoalan itu harus ditangani menyeluruh dan berkesinambungan. Akan percuma rajin menanam mangrove tetapi abai terhadap sampah.

Sampah adalah musuh tanaman mangrove, karena sering menyangkut di mangrove muda yang baru ditanam lalu menyeretnya ke laut lepas.

“Kompleksitas itulah yang membuat keluarga besar Stacia kian termotivasi, dan itulah dasar dibentuknya KSH,” kata Fatih.

Untuk sampai ke lokasi penanam mangrove di muara Cisadane, KSH perlu memiliki dermaga dan sarana fisik lainnya.

KSH lantas membangun dermaga, aula, mushola, MCK dan sarana lain di tepi sungai Ciliwung yang berada di wilayah desa Tanjung Burung.

“Lambat laun kami dengan warga saling kenal. Sekarang hubungan KSH dengan warga desa Tanjung Burung sangat akrab dan saling memberi manfaat,” lanjut Fatih.

Hari itu, tiga pengurus KSH hendak mengecek tanaman mangrove mereka di muara sungai Cisadane. Marbawi dan dua temannya sudah menyiapkan perahu untuk membawa mereka kesana.

Perahu yang dikemudikan Marbawi, suara mesinnya sangat berisik. Tetapi lajunya lambat. Sampah yang memenuhi sungai Cisadane menjadi penghambat perjalanan mereka.

Berkali-kali Marbawi mematikan mesin perahu. Lalu temannya yang berada di belakang perahu, jongkok untuk mengambil sampah yang menyangkut di baling-baling.

“Lihatlah sampai yang hanyut di sungai Cisadane. Tiap hari jumlahnya bisa berton-ton. Bayangkan bila setahun, berapa ton sampah masuk ke laut?” kata Roy Nurdin sambil menunjuk segala macam benda buangan dari warga hulu sungai.

“Dari Tanjung Burung ke muara, normalnya setengah jam. Tapi kalau sampah banyaknya seperti ini, perjalanan bisa lebih lama,” timpal Marbawi.

Sepanjang perjalanan, Roy Nurdin menceritakan, dua tahun lebih KSH berkiprah, sedikit banyak telah membawa hasil. Namun mereka belum puas, karena gagasan besar yang hendak diujudkan belum tercapai sepenuhnya.

“Salah satu target besar kami adalah menjadikan kawasan tabur mangrove sebagai objek wisata edukasi. Para pengunjung dapat sekaligus menikmati alam, mendengar suara burung liar, mengerti perlunya penyelamatan kawasan muara, serta ikut menanam mangrove di lahan yang disediakan,” kata Roy Nurdin.

Sementara itu, disela-sela kesibukannya menjalankan mesin perahu, sesekali Marbawi menyapa nelayan berperahu besar yang berpapasan dengan mereka.

Menurut Marbawi, nelayan berperahu besar itu pulang dari menangkap ikan di laut. Sedangkan yang berperahu kecil, menangkap ikan di sungai Cisadane. Kehadiran perahu kecil itu baru terlihat sekitar setengah tahun terakhir.

“Lihat nelayan berperahu kecil itu. Saya kenal. Sudah bertahun-tahun tak terlihat. Baru sekarang dia menangkap ikan lagi. Ini membuktikan sungai Cisadane mulai ada ikannya. Dulu tidak ada ikan, karena kawasan mangrove rusak parah,” ujar Marbawi.

Kawasan yang ditanami mangrove oleh KSH adalah delta di Muara Cisadane yang luasnya belasan hektar. Delta ini menurut Fatih, adalah bukti bahwa reklamasi pantai yang terjadi secara alamai, justru lebih dahsyat dari reklamasi buatan manusia.

“Daratan itu terbentuk dari lumpur gunung di daerah hulu yang hanyut, kemudian menyatu dengan ratusan ton sampah yang telah memenuhi sungai,” kata Fatih memjelaskan.

Di kawasan tabur mangrove, KSH sudah membangun dermaga perahu, pondok, dan fasilitas lain untuk pembibitan mangrove. Areal sungai dekat dermaga dipasang pagar bambu untuk melindungi mangrove muda yang baru ditanam dari terjangan sampah.

Cara itu ternyata sangat efektif, karea berfungsi pula untuk menahan sampah agar tak memasuki area pembibitan, dan lahan-lahan yang hendak ditanami mangrove.

Sesampanya di kawasan tabor mangrove, Fatih langsung meninjau pohon-pohon mangrove yang pertama kali ditanam KSH. Lebih dari dua tahun lalu kata Fatih, kawasan ini hanya genangan air yang dipenuhi sampah. Kini kawasan itu sudah hijau, karena mangrove yang ditanam KSH sudah besar-besar.

“Burung juga sudah bersangkar di pohon-pohon mangrove. Kepiting dan udang sudah banyak. Ini menandakan kawasan yang tadinya kritis sekarang, sekarang habitatnya sudah mulai pulih,” ungkap Fatih.

Sebenarnya terang Fatih, dulu kawasan ini tak semuanya kritis. Ada beberapa bagian yang ditumbuhi mangrove ukuran besar. Tetapi ditebangi petani tambak karena menganggap hutan mangrove adalah habitat burung.

“Burung-burung memangsa bibit ikan di tambak. Bagi petani burung itu adalah predator,” kata Fatih.

Untuk itulah KSH memberi pemahaman ke petani tambak agar tidak menebang pohon mangrove. Mengusir burung dapat dilakukan dengan cara membuat orang-orangan seperti petani di sawah. Nantinya burung akan mencari ikan di sungai.

Agar kelangsungan hidup burung terjaga, RTM melarang pengunjung menembak burung.

Menanami belasan hektar kawasan di muara Cisadane, tentu butuh biaya besar. Biaya jelas Roy Nurdin, berasal dari swadaya pengurus KSH, dermawan, dan dengan mengundang siapa saja yang tertarik menanam mangrove di area khusus.

Proses membuat area khusus, dimulai dari pengeringan genangan air, lalu diuruk. Setelah menjadi pulau kecil, KSH mengundang beberapa pihak untuk menanaminya. Pulau kecil itu akan diberi nama yang penanamnya.

“Salah satu pulau kami dinamai Niriwest Island, karena artis terkenal Nirina Zubir dan temannya memesan pulau untuk mereka tanami,” jelas Roy Nurdin.

Pembuatan pulau kecil dikerjakan oleh anggota RTM. Bibit mangrove yang ditanam juga berasal dari anggota RTM.

“Selain mengubah kawasan kritis di muara menjadi hutan mangrove dan mengembalikan fungsi alaminya, KSH secara langsung juga memberi manfaat ekonomi bagi warga Tanjung Burung. Seperti dengan membeli bibit mereka dan memberi insentif pembuatan pulau kecil itu,” lanjut Roy Nurdin.

Keterangan Roy Nurdin dibenarkan oleh Marbawi, malah kata Marbawi dengan adanya kawasan tabur mangrove KSH, Mereka juga dapat menyewakan perahu ke wisatawan dan menyediakan souvenir. Anggota RTM juga berencana membuat kuliner khas desa Tanjung Burung yang berasal dari olahan mangrove.

“Buah mangrove jenis pidada bisa dibuat bolu. Mangrove jenis api-api buahnya bisa untuk dodol dan onde-onde. Potensi ini akan kami garap serius. Agar berhasil tentu saja kami perlu pendampingan dari KSH,” jelas Marbawi.

Hari telah senja. Saat rombongan KSH bersiap-siap meninggalkan muara, terdengar teriakan merdu sepasang burung yang saling kejar di dahan mangrove api-api.

Bisa jadi itu ekspresi kegirangan mereka menyambut anaknya yang baru menetas dan bakal hidup tenteram disana.

Kawasan mangrove KSH memang untuk rumah anak dan cucu pasangan burung yang berbahagia itu.
(Ahyar Stone. 23/1/2019)

 

Fasilitas untuk pengunjung.
Niriwest Island milik artis terkenal Nirina Zubir
Sebelah kanan Fatih, kelompok mangrove KSH yang berumur dua tahun lebih.
Salah satu fasilitas untuk pengunjung yang dibangun KSH.
Roy Nurdin memeriksa bibit mangrove.
Dilindungi pagar bambu, mangrove muda bisa tumbuh baik karena dilindungi dari terjangan sampah yang hanyut di sungai Cisadane.
Pagar bambu yang didirikan KSH untuk melindungi mangrove muda dari sampah.
Fatih tiba di dermaga KSH di muara Cisadane. Diikuti Marbawi.
Dermaga tabur mangrove KSH di muara sungai Cisadane.
Setelah lama tak kelihatan, nelayan ini kembali menangkap ikan di sungai Cisadane.
Sampah yang memenuhi sungai Cisadane, menghambat perjalanan perahu nelayan.

SARMMI Mendukung Stacia Dirikan Pusat Pelatihan Mangrove Muhammadiyah

Bila dicermati seksama, ada dua hal yang sangat kentara dari anggota Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) di Muhammadiyah. Peduli kepada sesama, dan senantiasa tergerak menjalankan dakwah Muhammadiyah.

Dua karakter itu, bukan hasil dari proses yang instan. Melainkan dari proses panjang yang dilakukan secara terus menerus dan diulang-ulang. Hasilnya dua karakter itu melekat kuat  pada diri setiap anggota Mapala, sehingga tatkala mereka sudah manyelesaikan kuliahnya, peduli dan dakwah Muhamadiyah menjadi gaya hidup mereka sehari-hari di manapun berada.

Adalah beberapa anggota Mapala Stacia Universitas Muhammadiyah Jakarta yang blusukan ke muara sungai Cisadane di Tangerang. Menjelajahi daerah pinggiran yang tidak populer adalah tradisi Stacia untuk mempertajam kepekaan sosial anggotanya. Di blusukan kali ini anggota Stacia mendapati fakta yang membuat mereka tercengang, prihatin, sekaligus buru-buru hendak berbuat baik.

Kawasan mangrove di muara sungai Cisadane yang mereka datangi, ternyata rusak parah. Hutannya nyaris gundul, air laut berlumpur tebal, dan sampah rumah tangga bertebaran di semua penjuru pantai dan di hutan mangrove yang tersisa. Kerusakan ini telah berlangsung lama. Tak ada yang peduli. Padahal kondisi ini membahayakan ekosistem muara Cisadane. Temuan ini kemudian menjadi perhatian semua anggota Stacia. Tua dan muda.

“Awalnya Stacia hanya berniat fokus menyelamatkan kawasan pantai dengan cara menanam mangrove. Tetapi semakin jauh melangkah kami melihat masalah disini sangat kompleks dan saling berkaitan,”   ungkap senior Stacia Moh. Al Fatih kepada rombongan pengurus SAR Mapala Muhammadiyah Indonesia, yang mengunjungi wilayah konservasi mangrove Stacia di desa Tanjung Burung, kecamatan Teluk Naga, Tangerang. (27/8)

Kepada tamunya, Fatih yang didampingi senior Stacia lain, Roy Nurdin, menjelaskan, menanam mangrove berarti juga menyertakan kegiatan konservasi, penanganan sampah, serta pemberdayaan ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Sungai Ciliwung juga harus dinormalisasi, dan dikeruk agar dalam.

Semua persoalan itu harus ditangani menyeluruh dan berkesinambungan, baik secara secara serial maupun paralel. Akan percuma rajin menanam mangrove tetapi abai terhadap sampah. Sampah adalah musuh tanaman mangrove, karena sering menyangkut di mangrove muda yang baru ditanam lalu menyeretnya ke laut lepas.

“Kompleksitas itulah yang membuat keluarga besar Stacia kian termotivasi, dan  itulah dasar kami membentuk Kelompok Stacia Hijau, atau KSP pada bulan Mei lalu,” kata Fatih.

Mengenalkan Muhammadiyah

Kelompok Stacia Hijau adalah wadah yang memiliki badan hukum sendiri. Namun tetap berada dibawah Stacia. Pengurusnya anggota Stacia dari berbagai generasi. Mereka bergiliran bekerja di kawasan konservasi. Kendati tidak digaji, mereka menjalankan KSP secara profesional, ekonomis, dan militan. Mereka sadar, KSP membawa misi besar yang harus dikerjakan sungguh-sungguh selama bertahun-tahun.

Untuk sampai ke lokasi penanam mangrove di muara Cisadane, KSH harus memiliki dermaga dan sarana f isik lainnya. Ide ini membuat mereka mulai melakukan pendekatan kepada warga Tanjung Burung. Menurut Fatih, pendekatan kepada warga, perlu perjuangan khsusus. Warga yang bermukim disekitar muara Cisadane terkenal keras, dan sensitif terhadap pendatang.

“Warga disini sering dikadalin LSM. Jadi mereka curiga kepada lembaga yang datang. Mereka juga skeptis terhadap KSH. Tetapi setelah KSH selesai membangun dermaga, mushola, serta sumur bor lengkap dengan MCK, warga mulai percaya dengan niat baik KSH. Warga malah ikut membantu. Sekarang hubungan KSH dengan warga desa Tanjung Burung sangat kondusif,” lanjut Fatih.

Dermaga, sumur, MCK, dan mushola yang dibangun tepat di tepi sungai Ciliwung, ungkap Fatih, adalah pekerjaan kedua KSH. Sebelumnya mereka telah menanam ribuan mangrove. Anggaran membangun semua sarana itu dari iuran anggota Stacia dan donasi beberapa pihak. Dikerjakan gotong bersama warga. Fungsinya selain sebagai titik awal menuju area penananam mangrove, juga sebagai lokasi pemberdayaan ekonomi dan budaya masyarakat Tanjung Burung.

“Masyarakat di sepanjang sungai Cisadane terbiasa membuang sampah dan MCK disungai yang kotor” kata Fatih sambil menunjuk sungai Cisadane yang airnya keruh, sedikit berbau, dan tak pernah sepi dari hanyutan sampah rumah tangga. Volume sampah hanyut ini meningkat bila ada hujan.

Senada dengan Fatih, Roy menjelaskan, KSH memanfaatkan sumur dan MCK sebagai sarana untuk mengedukasi warga agar terbiasa MCK di air sehat dan tak lagi membuang sampah di sungai. Sekarang warga disekitar sini lebih suka antri di MCK yang dibangun KSH daripada mandi di sungai.

Lahan sisa membangun empat sarana tadi dimanfaatkan KSH untuk pembibitan mangrove dan pengelolaan sampah. Pembibitan dikerjakan bergiliran oleh ibu-ibu warga Tanjung Burung. Di lahan ini juga direncanakan menjadi sentral peternakan cacing tanah dengan memanfaatkan sampah yang telah dikelola. Sekarang KSH sedang mencari jaringan bisnis cacing tanah. KSH juga mengajak coprporate untuk investasi memberdayakan ekonomi warga Tanjung Burung.

“Sedangkan mushola kami jadikan sarana ibadah bersama warga. Mushola ini rencananya akan dikelola bersama remaja masjid setempat. Karena warga Tanjung Burung belum mengenal Muhammadiyah, mushola kami maksimalkan pula sebagai entry point memberi pencerahan tentang Muhamadiyah,” terang Roy.

Dibawah Mushola lanjut Roy, sudah dibangun dermaga untuk menuju lokasi penananam mangrove. Jarak tempuhnya sekitar setengah jam perjalanan air. Tetapi bisa lebih lama jika sungai sedang banyak sampah. Sampah sering menyangkut di baling-baling perahu.

Pusat Pelatihan Mangrove

Lahan konservasi mangrove di muara Cisadane yang dikelola KSH luasnya 24 Hektar. Sampai saat ini KSH telah menanam 15 ribu mangrove.

“Tetapi hampir separuhnya rusak dan hilang karena diterjang sampah,” ungkap Fatih.

Situasi itu justru memicu mereka untuk kian gigih menanam mangrove sambil menjalankan program penunjangnya, karena mangrove sangat bermanfaat bagi kelangsungan mahluk hidup.

Menurut Fatih, hutan mangrove berfungsi melindungi pantai dari erosi dan abrasi. Mencegah intrusi air laut. Tempat berkembang biak ikan, udang, kepiting, burung, monyet. Melindungi pemukiman penduduk dari badai, angin laut, dan gelombang pasang. melindungi daratan dari naiknya air laut akibat gas rumah kaca. Serta sebagai tempat wisata dan edukasi.

Saat ini hutan mangrove di Indonesia banyak yang rusak, tetapi baru sedikit pihak yang peduli. Hal ini kata Fatih karena masih banyak yang belum paham tentang mangrove dan fungsinya.

“Berangkat dari situasi itulah KSH akan menjadikan muara cisadane sebagai Pusat Pelatihan Mangrove Muhammadiyah,” Kata Fatih.

Diberi nama seperti itu, karena anggota Mapala sebagai kader Muhammadiyah memiliki tanggung jawab untuk memberi pencerahan kepada masyarakat.  Pusat pelatihan akan mengedukasi siapa saja agar paham dan peduli terhadap hutan mangrove. Edukas dimulai dari teori, teknis pembibitan, cara menanam, budidaya, hingga  memahami fungsi ekonomis dan ekologis tanaman mangrove. Usai mengikuti pelatihan, mereka kembali ke daerah asalnya untuk menerapkan ilmunya disana.

Selain itu lanjut Fatih, KSH terbuka bagi semua pihak untuk sama-sama membangun kawasan konservasi mangrove yang telah dikelola KSH. Mereka juga dipersilahkan untuk berpartisipasi di bidang pemberdayaan ekonomi, pengembangan SDM, keagamaan, atau di sektor sosial lainnya.

“Menanam mangrove serta membangun program pendukungnya perlu orang banyak, dan butuh kerjasama banyak pihak dari berbagai latar belakang. Stacia tidak akan mampu bekerja sendiri. Kami butuh pihak lain,” kata Fatih.

Terhadap ajakan KSH, pengurus SAR Mapala Muhammdiyah Indonesia, Tia Septiyani dari Camp STIEM Jakarta, mengaku sangat mengapresiasi kerja sosial KSH yang terencana baik dan dijalankan secara profesional. Sebagai dukungan SAR Mapala Muhammdiyah Indonesia akan mendampingi KSH di bidang keselamatan dan penyelamatan.

“Insya Allah kami akan menyelenggarakan pelatihan SAR untuk warga Tanjung Burung dan peserta edukasi mangrove. Pelatihan ini juga realisasi dari amanat Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, bahwa kegiatan SAR Mapala Muhammdiyah Indonesia adalah implementasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian pada masyarakat,” demikian kata Tia Septiani. (Ahyar Stone)