Lombok, 12 September 2018. Namanya Dusun Bual, secara administrasi masuk dalam wilayah Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara. Dusun yang dihuni sebanyak 69 KK yg terdiri dari 236 jiwa ini letaknya paling timur di ujung Desa Bayan, berbatasan dengan Kabupaten Lombok Timur.
Dari Kota Mataram, ibukota Nusa Tenggara Barat (NTB) jaraknya sekitar 89 KM, dengan waktu tempuh kendaraan sekitar 2,5 jam lebih. Dari kota Tanjung, ibukota Kecamatan Bayan berjarak sekitar 41 KM.
Kondisi jalannya sebagian diaspal, sebagian dibeton. Namun masih ada beberapa kilometer yg masih jalan tanah dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki untuk tiba di RT-1 dan RT-2 Dusun Bual.
Berada pada ketinggian 1.157 Mdpl (di atas permukaan laut) pada punggungan Gunung Rinjani, suhu udara di dusun Bual bisa mencapai angka 19 derajat celcius di malam hari.
Ada tiga kampung yang berada di Dusun Bual ini. Dari tiga kampung tersebut rata rata rumah warga rusak berat saat gempa bumi mengguncang Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, 05 Agustus lalu. “Ada 20 rumah yang ambruk ratah tanah, sementara 60 rumah lainnya rusak berat dan rusak sedang”, ungkap Mulyana, Kepala Dusun Bual saat ditemui di tempat pengungsiannya, Rabu, 12/09, sore.
Semua warga, baik bayi, balita, anak-anak, orang dewasa hingga orang tua, kini bertahan hidup di pengungsuan. Bahkan, ada seorang nenek yang sudah berusia 100 tahun lebih, juga ikut merasakan dinginnya cuaca pegunungan Rinjani di tenda pengungsian.
Warga korban gempa di dusun ini mengungsi di lahan persawan yang tak jauh dari rumah-rumah mereka yang rubuh. Mereka mendirikan tenda tenda darurat yang terbuat dari terpal beralaskan tikar seadanya yang dibuat secara swadaya. “Kita masih butuh tenda atau terpal, juga alas tidur. Sejak gempa, kami hanya menggunakan tenda terpal dan tikar seadanya untuk tidur”, kata Mulyana.
Selain tenda, alas tidur, dan selimut, pengungsi korban gempa di Dusun Bual ini juga membutuhkan makanan bayi, susu bayi, popok, dan kebutuhan bayi lainnya, serta obat-obatan. Pengungsi juga masih sangat butuh bahan makanan seperti beras dan lauk pauk.
Menurut Mulyana, sejak gempa berskala 7,0 SR melululantahkan pemukiman mereka, warganya baru menerima bantuan berupa beras dan mie instan, itupun dari aparat Kepolisian. Selain itu, warga juga baru satu kali mendapat pelayanan medis dari petugas kesehatan Puskesmas setempat. Tak ada relawan yang stay di dusun ini. Kalaupun ada, hanya datang mendata, membawa bantuan ala kadarnya, lalu pergi tak kunjung datang lagi.
Untuk kebutuhan air bersih, cuci dan mandi, mereka memanfaatkan air yang mengalir di sepaniang parit yang mengairi lahan persawahan. “Pipa air yang dari gunung sebagian besar hancur saat gempa”, tandas Mulyana. Sebelum gempa melanda, warga setempat mengkomsumsi air bersih yang bersumber dari pegunungan yang dialirkan melalui pipa sejauh tujuh kilometer.
Dimalam hari warga hanya menggunakan penerangan seadanya. Listrik padam total. Sebuah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang selama ini menjadi satu-satunya sumber tenaga listrik warga, tak luput dari kerusakan akibat guncangan gempa yang melanda…(ZL)